Mira (43) tahun meregang nyawa, Minggu (5/4) siang, di RSUD Koja, DKI Jakarta, setelah dikeroyok dan dibakar oleh sekelompok laki-laki sehari sebelumnya.
Peristiwa ini berawal pada Jumat (3/4), ketika seorang supir truk, yang memarkirkan kendaraannya di lingkungan tempat tinggal Mira, mengaku kehilangan dompet dan handphone setelah bertemu transpuan tersebut.
Kerabat Mira, Yuni Irwan, mengatakan sopir truk dan sejumlah warga sempat mendatangi transpuan tersebut di indekosnya.
“Jadi sampai di kosan itu mereka ketemu dengan Mira, terus dibantu dengan warga, menggeledah kamarnya Mira. Satu pun barang bukti nggak ada ditemukan,” ujarnya kepada VOA.
BACA JUGA: Tiga Kelompok Rentan yang Terabaikan dalam Kekerasan SeksualEsoknya, tambah Yuni, sejumlah preman, yang mendengar kabar sopir truk tersebut, mendatangi dan menginterogasi Mira.
“Dibawa lah dia (Mira) keluar, ke tempat kejadian itu. Di situ dia diinterogasi oleh preman ini sambil digebukin, sambil dipaksa ngaku. Tetap anak ini (Mira) nggak ngaku,”
Korban pun sempat disiram bensin dan diancam akan dibakar, sebelum akhirnya dilahap api. Mira - yang sempat meminta tolong kepada warga setempat - dilarikan ke rumah sakit sebelum akhirnya meninggal dunia.
Polisi Tetapkan 6 Tersangka
Sejumlah media melaporkan, polisi telah menangkap 6 tersangka, Rabu (8/4), dengan pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP tentang pengeroyokan yang mengakibatkan korban meninggal dunia. Para tersangka diancam hukuman maksimal 12 tahun penjara.
Yuni, yang tergabung dalam komunitas Waria dan Pasangan, mendesak polisi mengusut tuntas kasus ini. Dia meminta polisi menelusuri kemungkinan motif dendam, mengingat korban dan para pelaku sudah saling mengenal.
BACA JUGA: Masyarakat Bantu Waria di Tengah Wabah COVID-19“Aparat menindaklanjuti lebih lagi karena kan kita beberapa kali ada kasus kayak gini nggak pernah tuntas sampai kita puas (merasakan keadilan),” tambahnya.
Yuni berharap polisi berlaku adil kepada seluruh lapisan masyarakat, termasuk komunitas transpuan.
"Ke depannya ya bagaimana keadilan bagi transpuan dan itu (masyarakat umum) disamakan. Karena kan semua hukum itu (berlaku) sama,” harap dia.
Mira Dikenal Baik oleh Warga
Sementara itu, Yuni mengatakan Mira dikenal cukup baik oleh warga sekitar. Buktinya, pengurus RT melarikan Mira ke rumah sakit.
“Padahal nggak punya identitas anak ini, tapi memang perilakunya baik sama warga di situ, sama anak-anak juga baik. Jadi mereka tuh banyak yang suka. Bahkan RT-nya mau terlibat mengurusi segala-galanya,” terang Yuni lagi.
Ketika korban meninggal pun, warga sekitar dan kerabat ikut mengurus ambulans dan pemakaman.
Warga setempat dan organisasi pendamping telah menggalang dana untuk menutupi seluruh biaya rumah sakit dan pemakaman. Mira telah dimakamkan Senin (6/4) siang.
Transgender Kerap Jadi Target
Organisasi LGBTI Arus Pelangi mengutuk peristiwa tersebut dengan menyatakan “transphobia membunuh”.
Sementara Amnesty International Indonesia mendesak aparat menginvestigasi kasus ini secara tuntas.
“Tanpa aksi cepat dari pihak berwenang untuk mengungkap aksi kriminal mengerikan ini dan menyeret pelaku ke meja hijau, komunitas transgender di Indonesia akan merasa lebih diabaikan dan difitnah oleh pemerintah,” ujar direktur eksekutif lembaga tersebut, Usman Hamid.
BACA JUGA: Pemkot Depok Diminta Cabut Imbauan Razia Komunitas LGBTAmnesty mencatat, pada 2017, seorang transpuan bernama Zoya (30) juga menjadi korban pembakaran di bekasi, Jawa Barat, setelah dituduh mencuri pengeras suara.
Salah seorang peneliti senior di Human Rights Watch, Andreas Harsono, mencuit keprihatinannya.
Sementara itu, dalam laporan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), transgender terutama transpuan (waria), adalah kelompok yang paling sering jadi korban stigma, diskriminasi, dan kekerasan berbasis orientasi seksual dan ekspresi gender selama 2017.
Penelitian tersebut mengungkap, dari 973 korban, ada 715 orang (73,86 persen) yang merupakan transgender.
“Kelompok transgender lebih rentan mendapatkan diskriminasi dan kekerasan karena masyarakat atau publik lebih mudah mengidentifikasi kelompok transgender dari ekspresi gendernya,” tulis Naila Rizki Zakiah, penulis penelitian itu. [rt/em]
Your browser doesn’t support HTML5