Proses pengadilan perwira menengah TNI pelaku pembunuhan dan mutilasi di Mimika, Papua menghadirkan kejutan besar. Oditur militer mengajukan penadahan sebagai dakwaan primer dengan ancaman hukuman empat tahun, namun hakim memprioritaskan dakwaan pembunuhan berencana dan memvonisnya dengan hukuman penjara seumur hidup.
Keputusan hakim itu dibacakan dalam sidang di Jayapura, Selasa (24/1) yang baru berakhir pukul 18.30 WIT. Bertugas di meja hijau adalah majelis hakim Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya, dipimpin Hakim Ketua Kolonel Chk Sultan, dengan Hakim Anggota I Kolonel Chk Agus Husin, dan Hakim Anggota II Kolonel Chk Prastiti Siswayani. Persidangan sendiri digelar di Pengadilan Militer III-19 Jayapura.
“Mempidana terdakwa oleh karena itu dengan pidana pokok penjara seumur hidup, dengan tambahan dipecat dari dinas milter,” kata Hakim Ketua Kolonel Chk Sultan.
Your browser doesn’t support HTML5
Mayor Inf Helmanto Fransiskus Dakhi, terdakwa dalam persidangan ini mendengarkan seluruh putusan hakim sambil berdiri tegap. Dia adalah satu dari enam prajurit Brigade Infanteri Raider 20/Ima Jaya Keramo, yang bersama empat warga sipil membunuh dan memutilasi empat warga Nduga, di Distrik Mimika Baru, Kabupaten Mimika pada 22 Agustus 2022.
Terdakwa lain adalah Kapten Inf Dominggus Kainama yang meninggal pada 24 Desember 2022 karena serangan jantung, Pratu Robertus Putra Clinsman, Pratu Rizky Oktaf Muliawan, Pratu Rahmat Amin Sese, dan Praka Pargo Rumbouw. Sedang empat korban mereka adalah Arnold Lokbere, Irian Nirigi, Lemaniel Nirigi, dan Atis Tini.
Helmanto sebelumnya didakwa oleh oditur militer dengan pasal 480 tentang penadahan sebagai dakwaan primer, dengan subsider pasal 365, tentang pencurian dengan kekerasan, dan lsubsider pasal 340, tentang pembunuhan berencana.
Keluarga Puas Putusan Hakim
Mewakili keluarga, Pale Gwijangge yang mengikuti proses persidangan di Pengadilan Militer III Jayapura, mengapreasiasi putusan hakim.
“Puji Tuhan, ini luar biasa. Tuntutan Oditur empat tahun dengan hukuman tambahan pemecatan dari kesatuan, tapi hakim sangat luar biasa hari ini. Saya tidak tahu mau bicara bagaimana, tapi memang hakim punya pertimbangan yang sangat-sangat luar biasa,” kata Pale kapada VOA.
Dengan putusan ini, kekhawatiran keluarga bahwa Helmanto akan dihukum ringan sirna. Hakim justru membalikkan pasal tuntutan, dengan menempatkan dakwaan paling berat sebagai prioritas.
“Sebenarnya, kami keluarga korban memang menuntut hukuman mati. Tapi, dalam kaitan dengan putusan tadi, kami bisa menerima, dan kami apresiasi terhadap hakim ketua dan anggota, karena tidak mengikuti dakwaan dari oditur militer dan penasehat hukum terdakwa,” tambah Pale.
Keluarga korban juga menyatakan berterimakasih kepada majelis hakim, atas putusan ini. “Kami percayakan seutuhnya kepada hukum, dan hari ini hakim menjawab hal itu. Karena itu kami sangat berterima kasih kepada hakim,” ujarnya lagi.
Merusak Hubungan TNI-Masyarakat
Apresiasi juga diberikan Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP), Latifah Anum Siregar. “Kami mengapresiasi kepada majelis hakim karena mempertimbangkan fakta persidangan tentang keterlibatan terdakwa, sehingga dapat mengabaikan tuntutan oditur dengan pasal penadahan,” kata Anum.
Anum juga menambahkan, “Kami juga mengapresiasi karena dalam putusannya majelis memberikan pertimbangan, bahwa perbuatan terdakwa sadis, tidak berperikemanusiaan dan melanggar HAM.
“Perbuatan terdakwa juga meresahkan dan membuat trauma keluarga korban dan masyarakat, merusak hubungan TNI dan masyarakat, serta merusak citra TNI,” papar Anum mengutip beberapa pertimbangan majelis hakim.
Selain itu, Anum juga berharap majelis hakim yang memeriksa terdakwa lainnya untuk kasus yg sama, juga mempertimbangkan fakta persidangan dan memberikan keadilan bagi korban.
ALDP adalah satu dari sejumlah lembaga yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Penegakan Hukum dan HAM, yang aktif memonitor kasus ini. Lembaga lain yang tergabung dalam koalisi adalah Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia (PAHAM) Papua, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, LBH Kaki Abu, dan Elsham Papua.
Pertimbangkan Kondisi Sosiologis
Gustaf Kawer, pengacara keluarga korban sekaligus Direktur Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia (PAHAM) Papua menilai, pertimbangan hakim dalam putusan ini komprehensif.
“Hakim mempertimbangkan kondisi sosiologis masyarakat Nduga, masyarakat Papua dan juga masyarakat pada umumnya, dengan perbuatan terdakwa yang hakim anggap bahwa ini menurunkan citra TNI di mata masyarakat dan berdampak buruk buat kerja TNI ke depan,” kata Gustaf.
Hakim bahkan menyebut, tindakan ini sangat mengganggu psikologi keluarga korban. Menurut Gustaf, putusan hakim patut diapresiasi. “Dan ini juga bagi saya mengejutkan, karena hakim termasuk berani. Kita sebelumnya ragu dengan hakim,” ujarnya.
Alasan keraguan banyak pihak di awal proses persidangan, adalah karena adanya vonis bebas dalam sejumlah kasus pelanggaran HAM berat sebelumnya, termasuk yang terjadi di Paniai.
“Nah, putusan Peradilan Militer Surabaya ini, saya pikir jadi contoh yang baik dalam penegakan hukum di Indonesia, bukan saja peradilan pelangaran HAM. Hakim harus berani memberi vonis yang maksimal. Hukuman yang paling maksimal itu hukuman mati, tapi saya pikir putusan tadi itu sudah cukup memuaskan keluarga korban,” tambah Gustaf.
Dia juga meminta, putusan hakim pengadilan militer terhadap empat anggota TNI dalam kasus yang sama, sepadan. Begitu juga dengan putusan hakim di pengadilan umum Mimika, yang mengadili pelaku sipil.
“Lewat putusan hakim yang berani dan juga komprehensif ini, bagi saya jadi contoh bagi Peradilan Militer, supaya lebih berani lagi dalam memeriksa perkara seperti begini. Juga perkara-perkara lain, misalnya di peradilan koneksiktas, maupun peradilan umum,” urainya. [ns/ab]