Sejak nama Komisaris Jenderal Firli Bahuri masuk dalam daftar calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di panitia seleksi, pegiat antikorupsi bersuara lantang menolak kehadirannya. Alasannya, sebagai Deputi Penindakan KPK, Firli pernah melanggar kode etik.
Namun langkah Firli tetap mulus hingga akhirnya masuk dalam lima komisioner baru KPK, bahkan terpilih menjadi Ketua KPK periode 2019-2023.
Dalam sebuah diskusi bertajuk “Pemimpin Baru KPK dan Masa Depan Pemberantasan Korupsi” di Jakarta, Rabu (18/12), anggota Komisi hukum Dewan Perwakilan Rakyat Trimedya Panjaitan masih meyakini lima komisoner baru KPK – Firli Bahuri, Alexander Mawarta, Nurul Gufron, Nawawi Pomolango, serta Lili Pintauli Siregar – akan serius memberantas korupsi di Indonesia.
BACA JUGA: Jelang Pelantikan, Pimpinan KPK Terpilih Didorong Tuntaskan Kasus Besar"Tentu kita harus meyakini bahwa lima orang yang kami pilih ini memang benar-benar niatnya sudah bulat bahwa mereka mau melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia," kata Trimedya.
Untuk menghindari persepsi publik bahwa KPK versi undang-undang hasil revisi tidak bertujuan melemahkan lembaga antirasuah tersebut, Trimedya berharap Presiden Joko Widodo memilih empat orang yang memiliki kredibilitas dan integritas tinggi untuk menjadi anggota Dewan Pengawas KPK. Menurutnya, Joko Widodo sudah mengisyaratkan dua mantan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki dan Tumpak Hatorangan Panggabean serta hakim Albertina Ho dan mantan hakim Agung Mahkamah Agung (MA) Artidjo Alkostar masuk daftar anggota Dewan Pengawas KPK tersebut.
BACA JUGA: Pimpinan KPK Terpilih Hadiri Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia di KPKMeski Diisi Orang yang Kredibel, ICW Tetap Tolak Dewas KPK
Namun peneliti di Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S. Langkun menegaskan lembaganya tetap menolak keberadaan Dewan Pengawas KPK walaupun diisi oleh orang-orang yang memiliki kredibilitas dan integritas tinggi. Alasannya, eksistensi Dewan Pengawas akan mengubah sistem pemberantasan korupsi di bidang penindakan KPK karena Dewan pengawas akan masuk dalam sistem pro-yustisia di KPK.
Tama menekankan revisi Undang-undang KPK akan sangat berpengaruh terhadap kinerja KPK dalam memerangi korupsi. Dia mencontohkan banyaknya kasus mangkrak bisa jadi akan dihentikan penyelidikannya karena sesuai beleid yang baru kalau sudah lebih dari dua tahun harus dihentikan kecuali ada bukti baru.
Menurutnya, kasus korupsi tidak sama dengan perkara-perkara biasa. Dia mencontohkan perkara KTP elektronik yang pemeriksaannya melibatkan empat negara sehingga agak berat untuk diselesaikan dalam dua tahun. Kasus Century yang sudah lebih dari dua tahun juga akan terancam dihentikan.
Tama juga menyoroti putusan pengadilan yang cenderung lebih toleran terhadap para terdakwa kasus korupsi.
"Karena tren pengajuan PK (Peninjauan Kembali) yang kemudian dia mengurangi hukuman, itu menurut saya hal yang perlu diperhatikan. Kenapa perlu diperhatikan? Karena ada perubahan tren. Yang dulu dia akan stabil, tetap begitu saja, sekarang memiliki kecendrungan semakin berkurang, semakin berkurang (vonis hukumannya)," ujar Tama.
Dia menyoroti pula pemberian grasi kepada salah seorang narapidana kasus korupsi dengan alasan sudah tua dan sakit-sakitan. “Mengapa alasan kemanusiaan itu tidak berlaku kepada narapidana kasus lainnya yang sudah tua dan sakit-sakitan?” tanya Tama.
Your browser doesn’t support HTML5
KPK Dinilai Tak Berhasil Rampas Hasil Kejahatan Korupsi
Pakar tindak pidana pencucian uang dari Universitas Trisakti Yenti Ganarsih menilai pemberantasan korupsi selama empat tahun ini – terutama dalam hal perampasan kembali hasil kejahatan korupsi – sangat lemah. Sedianya, menurut Yenti, selain menjatuhkan hukuman maksimal, KPK berupaya keras agar uang negara yang dikorupsi bisa dirampas kembali. (fw/em)