Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berkomitmen untuk mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang Makanan dan Obat untuk memperkuat posisi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam mengawasi peredaran obat dan makanan di Tanah Air. Kewenangan badan tersebut saat ini dinilai lemah karena karena tidak memiliki otorisasi dalam mengawasi masuknya bahan baku obat dari luar negeri.
Wakil Ketua Komisi IX DPR Nihayatul Wafiroh menyebut kasus sirop anak yang mengandung etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) di luar ambang batas aman terjadi karena lemahnya pengawasan.
“Pengawasan dilakukan tidak hanya terhadap produk obat dan makanan, tetapi juga dilakukan terhadap fasilitas produksi, distribusi, dan pelayanan dan atau penyerahan, yang dalam hal ini pengawasan tersebut dilakukan oleh tenaga pengawas,” kata Nihayatul, Selasa (8/11), di ruang Badan Legislasi (Baleg) DPR.
Hingga 6 November, data Kementerian Kesehatan menyebut gangguan ginjal akut yang ditengarai terjadi karena sirop obat batuk yang tercemar, telah menyerang 324 orang. Sebanyak 195 anak di antaranya meninggal, 102 sembuh, dan 27 pasien masih dirawat.
RUU Pengawasan Obat dan Makanan sendiri telah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional 2019-2024. Namun, hingga kini pembahasannya masih dilakukan secara internal oleh DPR.
Perluas Kewenangan BPOM
Nihayatul menambahkan bahwa pihak legislatif berharap keberadaan UU Pengawasan Obat dan Makanan dapat memperluas kewenangan BPOM. Badan tersebut nantinya tidak hanya akan mengawasi produk, tetapi sekaligus tempat produksinya. Selain tenaga pengawas, BPOM juga bisa memiliki Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Lebih jauh lagi, BPOM tidak hanya bisa mengatur masalah administratif, tetapi juga menerapkan sanksi pidana.
“Selama ini bila ditemukan obat atau makanan yang kadaluarsa, Badan POM tidak memiliki payung hukum yang kuat untuk melakukan tindakan, hanya diserahkan kepada kepolisian saja,” tambah Nihayatul terkait kewenangan lain yang kemungkinan akan diberikan kepada BPOM.
DPR juga mendorong perluasan jangkauan BPOM. Selama ini, lembaga tersebut hanya memiliki perwakilan di tingkat provinsi, dan 40 kabupaten/kota. Padahal Indonesia memiliki 514 kabupaten/kota.
“Jadi, yang di kabupaten/kota lainnya, kebanyakan hanya bekerja sama dengan dinas kesehatan terkait. Tentunya, bila hanya 40, kita bisa membayangkan bagaimana bisa mengawasi sampai di sekolah-sekolah, jajanan-jajanan sekolah, jajanan anak-anak. Tentu sangat sulit sekali,” tegasnya.
BACA JUGA: Gangguan Ginjal Akut: Kegagalan Kelembagaan Pengawasan Obat dan MakananBeberapa detil penting dalam RUU baru ini antara lain adalah bahwa jangkauan pengawasan terhadap obat dan makanan akan meliputi pengawasan obat, bahan obat, obat bahan alam, obat kuasi, ekstrak bahan alam, suplemen kesehatan, kosmetik dan bahan olahan. Pengawasan akan dilakukan mulai dari proses produksi sampai pemakaian konsumen. DPR juga menginginkan pengawasan obat dan makanan tidak hanya dilakukan untuk produk dalam negeri, tetapi juga produk impor.
Anggota Komisi IX DPR Kris Dayanti mengatakan secara pribadi dia terdorong untuk memperjuangkan UU baru ini.
“Mengingat, pasti semua ibu-ibu dan perempuan di Indonesia juga pasti sangat khawatir tentang bagaimana kita membeli dan mengonsumsi obat-obatan yang beredar,” ujarnya.
Dia juga menyorot bagaimana produk obat dan makanan, termasuk kosmetik, dalam skala rumah tangga yang begitu populer di era pandemi. Produk industri rumah tangga ini dijual bebas melalui pasar daring, dan tentu saja membutuhkan pengaturan. Kris Dayanti juga mempertanyakan, produk-produk obat, kosmetik dan makanan yang disita selama ini dinilai kurang transparan penanganannya.
Masukan dari Baleg
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR, Darori Wonodipuro, secara umum mengaku menyambut baik kehadiran calon UU baru tersebut. Selama ini, dia menilai obat dan makanan tidak diawasi dengan cukup baik.
“Di negara kita terlalu bebas dalam peredarannya, bahkan hampir bisa dikatakan pengawasannya sangat terbatas. Sehingga untuk mencari obat yang harus pakai resep, tanpa pakai resep pun bisa,” tegasnya.
BACA JUGA: Ombudsman Desak Pemerintah Tetapkan Status KLB pada Kasus Gagal Ginjal AkutDarori juga menyinggung bagaimana pengawasan terhadap produk makanan yang dikonsumsi anak-anak di pedesaan. Pada kasus tertentu, bisa ditemukan makanan itu diberi bahan pewarna berbahaya.
Dia juga meminta, UU baru lebih merinci kewenangan dan tanggung jawab BPOM dalam persoalan ini. Darori juga sepakat, BPOM perlu memiliki tenaga penyidik sendiri karena tugas polisi sudah terlalu berat, dan akan kesulitan untuk berkonsentrasi pada sektor obat dan makanan.
Sementara anggota Baleg yang lain, Dessy Ratnasari, menyoroti perlakuan khusus bagi produk obat dan makanan oleh pengusaha mikro. Dia memberi contoh, usaha jamu gendong tentu tidak dapat diberikan aturan yang sama dengan perusahaan jamu besar. Namun, di sisi lain, UU ini juga harus bisa melindungi konsumen jamu gendong.
“Konsumen merasa aman untuk mengonsumsi obat atau jamu yang mereka jual, karena biasanya konsumennya ada di level menengah ke bawah, yang barangkali informasi, pengetahuan atau edukasi mereka tidak terlalu banyak,” kata Dessy.
Pada sisi yang berbeda, anggota Baleg DPR, Firman Soebagyo, justru meminta penguatan kewenangan ini dipikirkan dengan lebih baik.
“Saya sepakat bahwa dasar hukum untuk memberikan penguatan itu penting, tetapi jangan sampai juga kekuasaan itu diberikan berlebihan. Kadang-kadang kita ini dalam membuat sebuah rancangan undang-undang lupa bahwa ini dasar hukum untuk melaksanakan tata kelola,” tegasnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Firman memberi contoh dalam kasus sirop berbahaya, sebenarnya BPOM memiliki kekuatan cukup besar. Buktinya, lembaga ini mampu memberikan vonis terhadap obat-obatan yang diduga mengandung bahan berbahaya.
“Diberikan regulasi yang belum kuat saja, sudah kuatnya seperti ini,” tukasnya. [ns/ah]