Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Hasbi menyebut bahwa peletakan batu pertama atau groundbreaking yang akan dilakukan di IKN tersebut merupakan yang ke-8.
“Di antara itu ada dua groundbreaking yang investasi asing, ada satu dari China dan Australia,” ungkap Hasan di Jakarta, Selasa (10/9).
Menurutnya, dengan adanya investasi yang murni dari asing, bukan gabungan dengan investor domestik tersebut menandakan adanya kepercayaan pihak swasta, terutama investor asing yang mulai terlihat wujudnya.
“Kita harus paham, mulai dari letter of intent (LOI, MoU), kontrak sampai groundbreaking itu butuh waktu. Jadi bukan berarti hari ini sudah ada LOI, kemudian tiba-tiba besok ada groundbreaking kan prosesnya panjang. Jadi di antara proses yang panjang itu nanti sudah ada dua investasi asing yang akan groundbreaking di IKN, sudah mulai kelihatan wujudnya,” katanya.
Sementara itu, ditemui usai Rapat dengan Komisi II DPR RI, di Jakarta, Senin (9/9), Plt Wakil Kepala Otorita IKN Raja Juli Antoni mengatakan, groundbreaking yang akan dilakukan dalam waktu dekat mencapai enam hingga delapan groundbreaking. Dua di antaranya adalah dari investor asing.
“Pertama dari Delonix (perusahaan China -red) yang akan membangun mal, hotel, apartemen juga pusat perbelanjaan, total investasi sekitar Rp500 miliar, kedua dari Australian Independent School yang juga akan membangun sekolah dan total investasi tahap awal sebesar Rp150 miliar. Jadi in total sekarang sudah ada tujuh kali groundbreaking, berikut ke-8. Dan telah ada 31 investor yang masuk dengan total investasi Rp56,8 triliun,” ungkap Raja Juli.
Lebih jauh, Raja Juli menjelaskan sampai detik ini masih terdapat 61 letter of intent (LOI) dengan kisaran nilai investasi sebesar Rp80,4 triliun. Ia menjelaskan, minat investasi yang paling besar berasal dari investasi langsung yang mencapai Rp49,2 triliun, dan ada juga yang berasal dari Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
“LoI (letter of intent) yang sedang dibahas itu totalnya Rp80,4 triliun. Itu terdiri dari direct investment yaitu Rp49,3 triliun dan kemudian ada yang bentuk PPP (Public Private Partnership) atau KPBU itu sebesar Rp30,9 triliun termasuk di antaranya ada (investor) asing sekitar Rp21,41 triliun,” jelasnya.
Beberapa ekonom memproyeksikan potensi untuk berinvestasi di calon ibu kota negara Republik Indonesia ini masih terbuka, tetapi akan cenderung berjalan lambat.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengungkapkan konsep smart city yang diusung oleh pemerintah dalam membangun IKN masih akan menarik di mata investor. Namun, ia memperkirakan kemunculan investor baik asing maupun domestik di IKN ke depannya akan berjalan cukup lambat. Hal ini dikarenakan, para investor kata Josua masih melihat perkembangan pembangunan mega proyek ini yang awalnya akan bersumber dari APBN terlebih dahulu.
“Ke depannya tidak menutup kemungkinan peluang untuk investasi karena kita tahu dengan konsep smart city yang ditawarkan, artinya terkait dengan green economy, renewable energy, ini beberapa prospek investor juga terbuka ke depan,” ungkap Josua ketika berbincang dengan VOA.
Namun, katanya, dengan kondisi ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global menjadikan investor asing utamanya akan cenderung wait and see untuk menanamkan modalnya di IKN.
“Saya memaklumi bahwa mungkin minat investasi belum begitu besar. Namun, nanti pada akhirnya kalau melihat dari misalkan dari perkembangan investasi domestik perkembangan IKN, apalagi dengan Presiden Jokowi sudah berkomitmen berkantor di IKN meskipun pemindahan ASN tertunda, namun akan tetap berjalan meskipun pace-nya tidak cepat. Tetapi saya pikir LOI dari para investor tetap ada tinggal menunggu bagaimana progres investasi domestiknya, menunggu momentum suku bunga global turun. Jadi saya pikir semua faktor itu, juga mempengaruhi,” jelasnya.
Meskipun berinvestasi di suatu ibu kota pemerintahan tidak menimbulkan tingkat pengembalian investasi (return of investment/ROI) yang cenderung tinggi, tetapi seperti juga kota-kota pemerintahan di negara lain, masih akan dapat menarik minat para investor karena masih membutuhkan berbagai fasilitas pendukung, katanya.
“Washington kalau kita lihat selain ada pusat pemerintahan, kantor-kantor lembaga internasional tetapi juga ada pusat-pusat kebudayaan , kesenian, museum, sehingga tetap bisa mendatangkan minat wisatawan. Dari sisi ROI, ya karena namanya juga ini sesuatu yang baru, jadi saya menduga investasi dari asing ya relatif saja, karena risiko mereka melihat belum ada perkembangan, masih sebagian besar proyek awal jadi belum mau ambil risiko apalagi dengan suku bunga global yang masih tinggi,” jelasnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh ekonom INDEF Tauhid Ahmad. Menurutnya para investor tersebut akan melihat perkembangan pembangunan IKN dalam beberapa tahun ke depan, baru akan memutuskan apakah akan berinvestasi atau tidak.
Dengan kondisi yang ada saat ini, meskipun Istana Kepresidenan dan beberapa kantor pemerintahan juga sudah terbangun, tetapi secara fungsional kegiatan pemerintahan di sana belum berjalan, apalagi dengan adanya penundaan pemindahan ASN.
Menurutnya, para investor akan berinvestasi dengan memperhatikan pasar yang ada. Jika pasarnya belum dikatakan menguntungkan, maka para investor pun belum akan mengambil risiko untuk menanamkan modalnya di IKN.
“Saya kira dengan situasi itu, maka belum begitu besar atensi investor luar. Kalau dalam negeri mereka untuk berjaga-jaga, toh pas dibayar mereka sudah hitung dengan katakanlah status hak gunanya yang panjang seperti 80 tahun, kemudian diperpanjang dan itu sudah dihitung kalau misalnya investasi yang masuk minim, maka yang terjadi adalah pergerakan dari NJOP-nya (Nilai Jual Objek Pajak -red) sehingga in the long term, pergerakan NJOP bisa menutup besaran investasi yang mereka punyai,” ungkap Tauhid.
Lebih jauh, Tauhid menjelaskan selama ini investor asing berinvestasi di Tanah Air kebanyakan di sektor pertambangan dan jasa. Maka dari itu, ketika IKN berfungsi sebagai ibu kota pemerintahan yang tidak disertai dengan dua sektor tersebut, maka akan cukup sulit meyakinkan untuk investor berinvestasi dalam mega proyek ini.
“Tapi kalau ada industri dan sebagainya baru investasi asing asing bergerak, karena mereka harus tahu apakah memang marketnya dalam atau luar negeri, dan sementara ini sebuah kota dan akan cenderung yang mengisi market adalah domestik, tidak orientasi ekspor dan memang daerahnya tidak diperuntukkan untuk industri tetapi untuk administratif pemerintahan,” pungkasnya. [gi/jm]