Menteri Agama Republik Indonesia Fachrul Razi bulan lalu melontarkan dua wacana larangan bagi Muslim yang bekerja di instansi pemerintah atau aparat sipil negara (ASN). Pertama, bagi Muslimah, larangan memakai niqab atau cadar. Kedua, bagi Muslim, larangan memakai celana panjang yang berakhir di atas mata kaki alias cingkrang.
Fachrul beralasan, cadar adalah budaya orang Arab, bukan budaya Indonesia. Ia menyatakan, wacana larangan itu ia sampaikan dengan mempertimbangkan alasan keamanan, merujuk masalah radikalisme.
Dua muslimah Indonesia di Washington DC area menyatakan tidak bisa menerima larangan itu.
IItu terlalu menyentuh ranah privasi,” cetus Anissya, ibu empat anak yang mengenakan cadar setelah tinggal di Amerika empat tahun ini; dan Emma Liana, ibu dua anak, yang bercadar sejak masih di Indonesia dan berlanjut sampai di Amerika.
Sangat memprihatinkan," kata Anissya.
BACA JUGA: Polemik Cadar dan Celana Cingkrang di Kantor PemerintahBaik Anisya maupun Emma tidak pernah menjadi aparat sipil atau pegawai negeri. Tetapi keduanya pernah bekerja ketika masih di Jakarta bagi Anisya, di Palembang bagi Emma. Mereka menyayangkan, walaupun masih wacana, di lapangan ada pihak-pihak yang menganggapnya sudah menjadi peraturan.
Peraturan itu harus ditinjau ulang," kata Emma.
Lagi pula, masih kata Emma, Islam itu tidak mengajarkan kekerasan. Yang buruk-buruk pun tidak diajarkan.
Kalau alasan radikal, keamanan, itu tidak masuk akal! Pada dasarnya semua agama tidak ada yang mengajarkan keburukan," tegas Anissya.
Kalau yang dikhawatirkan adalah keamanan, dan kaitannya dengan identitas, Anissya mengatakan, ia dan umumnya orang-orang bercadar yang ia kenal, sangat kooperatif dan terbuka.
Ia mencontohkan, setiap kali di bandara, ia meluangkan waktu lebih lama untuk pemeriksaan. Ia bersedia masuk ruang khusus dan membuka cadar supaya petugas bisa mencocokkan wajahnya dengan foto yang ada pada paspor atau kartu identitas.
Namun jika itu terjadi di institusi pemerintah dan orang itu adalah pegawai, maka Anissya menilai tidak ada masalah.
Sebelum kita melamar, mereka kan sudah melihat identitas kita, wawancara, foto, semua sudah. Masak sih setiap hari harus dicek. Dengan suara saja mereka bisa mengenali. Kalau memang harus dicek setiap hari ya tidak masalah. Tidak perlu dilarang lah intinya," kata Anissya.
Intinya, Anissya menekankan, ada langkah-langkah yang bisa dilakukan kalau demi keamanan, sehingga tidak perlu ada larangan, yang menurutnya malah meresahkan. Ia menyayangkan wacana itu dicetuskan oleh Muslim di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
BACA JUGA: SKB Anti Radikalisme Tidak Langgar Kebebasan Berpendapat dan Tidak Sasar Agama TertentuKalau larangan diberlakukan, menurut Emma, pemerintah sendiri yang akan rugi karena akan banyak tenaga-tenaga yang bagus, orang-orang yang terampil, akan keluar.
Kalau saya disuruh milih antara agama dan pekerjaan, pasti saya akan memilih agama saya," kata Emma.
Ketika ditanya apakah Emma tidak khawatir soal biaya hidup, ia menjawab, “Ah rezeki itu kan tidah hanya dari situ.”
Emma, yang bergelar sarjana teknik elektro, dan Anissya, yang bergelar sarjana fisika, yakin bisa bekerja di mana saja termasuk di Amerika walaupun bercadar. “Di sini, kemampuan otak dan kinerja yang dinilai, bukan penampilan,” cetus mereka.
Lalu apa tanggapan Muslim terhadap wacana larangan bercelana cingkrang? Angga Pradesha, seorang peneliti yang bekerja di Washington, DC hanya tertawa. Ia akrab dengan celana cingkrang walaupun tidak selalu mengenakannya. Ia menggulung bagian bawah celananya setiap kali akan sholat. [ka]