Perekonomian Myanmar diperkirakan akan tumbuh pada akhir tahun fiskal ini, tetapi masih tertinggal dari tingkat sebelum kudeta militer 1 Februari 2021.
Dalam laporan yang dirilis Bank Dunia hari Senin (30/1), Myanmar diprediksi akan mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 3% pada akhir September nanti. Laporan berjudul “Monitor Ekonomi Myanmar: Menavigasi Ketidakpastian,” menyatakan bahwa ada risiko yang lebih besar dibanding hal-hal positif terkait pemulihan ekonomi Myanmar. Hal ini mencakup “memburuknya konflik menjelang pemilu yang dijadwalkan.”
Myanmar diselimuti krisis sejak kudeta militer dua tahun lalu yang menggulingkan pemerintahan yang dipilih secara demokratis dan menempatkan sejumlah pemimpin militer sebagai penanggung jawab negara. Pengambilalihan itu ditentang luas oleh warga Myanmar lewat berbagai aksi demonstrasi. Namun junta militer mengambil tindakan keras terhadap kelompok-kelompok oposisi, termasuk para politisi, aktivis dan media. Hal ini mengobarkan gerakan perlawanan bersenjata yang dikenal sebagai “Pasukan Pertahanan Rakyat.” Konflik di negara itu kini menyerupai perang saudara.
BACA JUGA: Myanmar: Kerikil Panas dalam Sepatu bagi ASEANLaporan Bank Dunia merangkum soal betapa rentannya ekonomi Myanmar dalam enam bulan terakhir ini karena terus berlanjutnya konflik. Hal ini mengganggu perekonomian dan menimbulkan dampak buru pada kehidupan dan penghidupan. Biaya konstruksi, kekurangan pasokan listrik dan peraturan militer juga menimbulkan dampak pada kegiatan ekonomi.
Dunia bisnis ikut menyoroti kerentanan nilai tukar sebagai kesulitan ekonomi utama, sementara kelangkaan mata uang asing saat ini dan terus berlangsungnya pembatasan perdagangan menjadi hambatan lain.
Kudeta militer di Myanmar telah memicu pengenaan sanksi-sanksi dari negara-negara Barat, sementara investor asing enggan berbisnis di negara itu karena berbagai aksi demonstrasi dan kerusuhan. Hal ini membuat pasar domestik tidak memberikan profit bagi bisnis. Terus berlanjutnya ketidakstabilan, ditambah gaya memerintah junta militer, juga berkontribusi pada prediksi ekonomi yang suram.
Menurut Assistance Association for Political Prisoners yang berkantor di Thailand, sejak kudeta militer 1 Februari 2021 lalu hampir 3.000 orang meninggal di tangan junta militer. [em/lt]