Duta Besar Indonesia untuk Amerika, Dino Patti Djalal, mengatakan kepada VOA laporan-laporan pemerintah AS yang dipublikasikan secara luas itu tidak produktif bagi hubungan bilateral.
WASHINGTON DC —
Indonesia menyayangkan pemerintah Amerika yang kerap merilis berbagai laporan yang dinilai bersifat menghakimi. Duta Besar Indonesia untuk Amerika hari Rabu mengatakan laporan semacam itu bisa mengganjal hubungan kedua negara yang kini berlangsung hangat.
Setiap tahun Departemen Luar Negeri Amerika mengeluarkan berbagai laporan mengenai negara-negara lain, termasuk Indonesia, dalam berbagai hal. Di antaranya laporan perdagangan manusia, kebebasan beragama, kebebasan pers, Hak Asasi Manusia, dan lain-lain.
Dalam laporan mengenai kekebasan beragama internasional tahun 2012 yang dirilis pertengahan tahun ini, misalnya, Amerika mencatat kebebasan beragama di Indonesia masih lemah. Laporan itu juga mengatakan Indonesia terkadang gagal melindungi kelompok-kelompok agama minoritas.
Duta Besar Indonesia untuk Amerika, Dino Patti Djalal, mengatakan kepada VOA laporan-laporan yang dipublikasikan secara luas itu tidak produktif bagi hubungan bilateral.
"Laporan itu sifatnya judgmental, memang hal-hal yang disampaikan benar, tapi dari segi psikologis, menurut kita itu tidak lazim, karena tidak ada negara-negara lain yang membuat seperti itu terhadap kita," kata Dino Patti Djalal.
Meskipun sebagian laporan itu dinilai mengganjal, namun Djalal mengatakan Indonesia tidak selalu menanggapinya. Dino Patti Djalal menambahkan, "Kadang-Kadang kita respon, kadang-kadang kita tidak respon. Case-by-case. Tapi setiap ada laporan jadi defensif, hubungannya mengganggu tempo hubungan. Saya ingin Washington sensitif terhadap hal ini."
Mantan Duta Besar Amerika untuk Indonesia, Scot Marciel, yang kini menjabat sebagai Wakil Menteri Luar Negeri Amerika urusan Asia Timur dan Pasifik mengatakan kepada VOA laporan-laporan Deplu itu merupakan mandat dari Kongres AS.
"Kami memahami kekahawatiran Dino, kami juga mendengar keluhan itu dari orang lain. Laporan itu merupakan sesuatu yang diwajibkan oleh undang-undang Amerika. Kami berupaya menulis laporan-laporan itu seadil dan seakurat mungkin, tapi kami juga tahu beberapa negara ingin agar kami tidak melakukannya," ujar Marciel.
Supaya tidak mengganjal hubungan bilateral, Duta Besar Djalal menyarankan agar laporan-laporan semacam itu disampaikan secara tertutup. Isu itu mencuat dalam pertemuan kemitraan Amerika-Indonesia yang diprakarsai Pusat Studi Strategis Internasional atau CSIS di Washington DC.
Dalam kesempatan itu, CSIS mempresentasikan laporan terbarunya mengenai kemitraan Amerika-Indonesia pada abad ke-21. Ted Osius, Mantan Pejabat Senior Departemen Luar Negeri yang mengikuti program fellowship di CSIS, mengatakan salah satu rekomendasi utamanya adalah mengedepankan kerjasama dalam membantu mengatasi masalah di negara ketiga, seperti yang telah dilakukan dalam konflik di Myanmar dan Timur Tengah.
"Ada kalanya hubungan ini bukan sekedar bilateral, tapi Amerika dan Indonesia mengatasi tantangan global atau regional secara bersama-sama. Contohnya, dalam hal transisi Myanmar menuju demokrasi, Indonesia memiliki banyak pelajaran bagi Myanmar dan ada banyak cara bagi Amerika untuk turut berkontribusi," kata Osius.
Selain bidang politik dan keamanan, laporan setebal 92 halaman berjudul "Kemitraan Amerika-Indonesia Untuk 2020" itu juga menyoroti kerjasama kedua negara dalam bidang ekonomi dan pembangunan serta sosio-ekonomi, pendidikan, sains dan teknologi.
Setiap tahun Departemen Luar Negeri Amerika mengeluarkan berbagai laporan mengenai negara-negara lain, termasuk Indonesia, dalam berbagai hal. Di antaranya laporan perdagangan manusia, kebebasan beragama, kebebasan pers, Hak Asasi Manusia, dan lain-lain.
Dalam laporan mengenai kekebasan beragama internasional tahun 2012 yang dirilis pertengahan tahun ini, misalnya, Amerika mencatat kebebasan beragama di Indonesia masih lemah. Laporan itu juga mengatakan Indonesia terkadang gagal melindungi kelompok-kelompok agama minoritas.
Duta Besar Indonesia untuk Amerika, Dino Patti Djalal, mengatakan kepada VOA laporan-laporan yang dipublikasikan secara luas itu tidak produktif bagi hubungan bilateral.
"Laporan itu sifatnya judgmental, memang hal-hal yang disampaikan benar, tapi dari segi psikologis, menurut kita itu tidak lazim, karena tidak ada negara-negara lain yang membuat seperti itu terhadap kita," kata Dino Patti Djalal.
Meskipun sebagian laporan itu dinilai mengganjal, namun Djalal mengatakan Indonesia tidak selalu menanggapinya. Dino Patti Djalal menambahkan, "Kadang-Kadang kita respon, kadang-kadang kita tidak respon. Case-by-case. Tapi setiap ada laporan jadi defensif, hubungannya mengganggu tempo hubungan. Saya ingin Washington sensitif terhadap hal ini."
Mantan Duta Besar Amerika untuk Indonesia, Scot Marciel, yang kini menjabat sebagai Wakil Menteri Luar Negeri Amerika urusan Asia Timur dan Pasifik mengatakan kepada VOA laporan-laporan Deplu itu merupakan mandat dari Kongres AS.
"Kami memahami kekahawatiran Dino, kami juga mendengar keluhan itu dari orang lain. Laporan itu merupakan sesuatu yang diwajibkan oleh undang-undang Amerika. Kami berupaya menulis laporan-laporan itu seadil dan seakurat mungkin, tapi kami juga tahu beberapa negara ingin agar kami tidak melakukannya," ujar Marciel.
Supaya tidak mengganjal hubungan bilateral, Duta Besar Djalal menyarankan agar laporan-laporan semacam itu disampaikan secara tertutup. Isu itu mencuat dalam pertemuan kemitraan Amerika-Indonesia yang diprakarsai Pusat Studi Strategis Internasional atau CSIS di Washington DC.
Dalam kesempatan itu, CSIS mempresentasikan laporan terbarunya mengenai kemitraan Amerika-Indonesia pada abad ke-21. Ted Osius, Mantan Pejabat Senior Departemen Luar Negeri yang mengikuti program fellowship di CSIS, mengatakan salah satu rekomendasi utamanya adalah mengedepankan kerjasama dalam membantu mengatasi masalah di negara ketiga, seperti yang telah dilakukan dalam konflik di Myanmar dan Timur Tengah.
"Ada kalanya hubungan ini bukan sekedar bilateral, tapi Amerika dan Indonesia mengatasi tantangan global atau regional secara bersama-sama. Contohnya, dalam hal transisi Myanmar menuju demokrasi, Indonesia memiliki banyak pelajaran bagi Myanmar dan ada banyak cara bagi Amerika untuk turut berkontribusi," kata Osius.
Selain bidang politik dan keamanan, laporan setebal 92 halaman berjudul "Kemitraan Amerika-Indonesia Untuk 2020" itu juga menyoroti kerjasama kedua negara dalam bidang ekonomi dan pembangunan serta sosio-ekonomi, pendidikan, sains dan teknologi.