Kasus kekerasan seksual yang menimpa siswa-siswa di sekolah umum maupun sekolah berbasis agama nyata terjadi dan menjadi ancaman bagi kelangsungan masa depan pendidikan anak-anak Indonesia. Sejumlah kasus yang terjadi akhir-akhir ini di sejumlah daerah, menjadi bukti bahwa kasus kekerasan seksual merupakan fenomena gunung es.
Sri Sulistiyani, guru di SMA Negeri Balung, Jember, Jawa Timur, mengatakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh guru atau tenaga pendidik terhadap muridnya bukan sekadar dugaan, tapi benar-benar terjadi.
Sebagai guru yang mengetahui langsung dan mengadvokasi kasus kekerasan seksual, Sri Sulistiyani mengatakan institusi pendidikan lebih mengedepankan nama baik, daripada memproses dan menyelesaikan kasus kekerasan seksual yang terjadi.
“Teman-teman guru atau teman-teman pendidik, atau ustaz, atau kyai, merasa mereka tidak mau tersangkut paut, Jadi, lebih baik mengambil jarak, ketika ada kasus lebih baik mengambil jarak, tidak ingin melakukan sesuatu tapi ingin menjauhkan diri. Dan kemudian juga ingin menutupi atau membuat supaya institusi tidak tercemar nama baiknya," katanya.
Direktur Woman Crisis Center Pasundan Durebang, Ira Imelda, mengatakan kekerasan seksual di institusi pendidikan, termasuk yang berafiliasi agama, telah mencederai dan merusak makna kehadiran institusi pendidikan di tengah masyarakat sebagai tempat mendidik dan mencerdaskan bangsa.
Kekerasan seksual yang terjadi di sekolah umum maupun yang berlabel sekolah agama, sering kali dianggap mustahil terjadi. Hal ini karena sekolah, terlebih yang mengajarkan tentang agama, dianggap sebagai tempat yang suci dan jauh dari kesalahan.
BACA JUGA: Pemerintah Jamin Keamanan Pelapor Kekerasan Seksual di Institusi PendidikanMenurut Ira, yang juga pendeta di Gereja Kristen Pasundan, pandangan yang mengunggulkan sekolah maupun lembaga pendidikan berafiliasi agama justru menjadikan kasus kekerasan seksual tersembunyi,
“Kekerasan seksual ini karena kadang-kadang dianggap sebagai sesuatu yang tidak mungkin terjadi di dalam imstitusi pendidikan itu justru membuat jadi tidak aware, tidak sadar. Apalagi kalau misalnya dikedepankan bahwa, ini kan kita menganut nilai-nilai Kekristenan. Jadi, itu yang membuat kadang-kadang kekerasan seksual yang terjadi di institusi pendidikan itu seringkali ditutip-tutupi karena nanti dianggapnya jadi tidak mencerminkan nilai-nilai exellence dari kampus atau nilai-nilai Kekristenan," paparnya.
Kebisuan di lembaga pendidikan atas kasus kekerasan seksual yang terjadi di dalamnya, tidak lepas dari besarnya relasi kuasa yang dimiliki pengajar terhadap muridnya. Bahkan, kata Ira, korban kekerasan seksual yang mengaku atau berani bersuara, justru tidak dipercaya oleh publik.
Ira menjelaskan kekerasan seksual terutama terhadap perempuan yang masih terus terjadi dipengaruhi oleh pandangan yang telah membudaya bahwa perempuan hanya sebagai objek seksual.
“Agama itu, ajaran-ajarannya itu tidak lepas dari konstruksi budaya, sehingga masih menempatkan, diakui atau tidak, perempuan itu dipandang sebagai objek seksual, itu seringkali tanpa disadari, karena memang harus kita akui ada bias-bias yang tidak kita sadari, karena terus menerus terkonstruksi, itu sangat berpegaruh dari cara kita memahami siapa itu perempuan. Akibat dari perempuan yang dipandang sebagai objek seksual itu, maka muncullah pandangan yang mengangap jadinya normal, normalisasi terhadap kekerasan seksual," ujar Ira.
Ia menambahkan, perlu adanya peraturan serta kode etik, standar penanganan korban, mekanisme aduan, dan pakta integritas, yang memastikan tenaga pendidik di institusi pendidikan berafiliasi agama menolak kekerasan seksual di tempatnya mengajar.
Sementara itu, Imam Nakha’I, pengajar di Institut Agama Islam Ibrahimy di Situbondo, menegaskan bahwa lemah atau kuatnya iman bukan sebagai penentu seseorang melakukan kekerasan seksual atau tidak.
Justru banyaknya tafsir agama yang melandasi keimanan seseorang, malah dijadikan alat untuk mewajarkan tindak kekerasan seksual, ujar Imam yang juga Komisioner Komisi Nasinoal Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
“Kurangnya iman, itu bukan sebagai penyebab terjadinya kekerasan seksual. Bahkan, keimanan atau dalam tanda petik, tafsir agama, itu digunakan untuk mengabsahkan atau untuk pewajaran melakukan kekerasan seksual," katanya.
BACA JUGA: Penghapusan Kekerasan Seksual: Kampus Serius, Peradilan Butuh PembenahanAuditor Madya Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Bayu Suwardi, menegaskan pemerintah akan melindungi korban tindak kekerasan seksual, termasuk yang berani melaporkan pelaku kepada Kemenristekbud maupun aparat penegak hukum.
“Kami jamin seratus persen, bahwa guru maupun siswa yang ingin melapor kepada kami, itu nanti akan kami lindungi. Bahkan kami sudah kerja sama dengan LPSK, tidak hanya terlindungi dari aspek psikis ya, tapi juga kita ingin melindungi dari aspek fisik. Karena memang mungkin juga ada gangguan-gangguan fisik yang bisa saja terjadi," ujar Bayu. [pr/ft]