Gedung Putih menggambarkan pemandangan di sebuah kamp pengungsi di Rafah sebagai “memilukan” setelah serangan udara Israel yang menewaskan sedikitnya 45 orang yang berdesakan di kamp itu.
Mohammed Abuassa, seorang warga Palestina di kamp itu menggambarkan apa yang dilihatnya.
“Bahkan daerah aman yang dikatakan musuh aman pun tidak aman. Bahkan Rafah pun tidak ada keamanannya. Tempat ini diketahui sebagai kamp pengungsian. Semuanya mati syahid. Sejujurnya, ini pemandangan yang tidak bisa dipahami. Tadi malam sangat sulit," kata Abuassa.
Presiden Joe Biden telah berulang kali memperingatkan Israel agar tidak melancarkan operasi darat di kota di Gaza selatan yang padat itu, tetapi Gedung Putih menekankan pada Selasa (28/5) mereka tidak percaya bahwa serangan udara pada akhir pekan itu melanggar batas kebijakan pemerintah Amerika Serikat (AS) atau memerlukan perubahan kebijakan.
BACA JUGA: AS Anggap Serangan Israel ke Rafah dalam Lingkup “Terbatas”Pendapat demikian disampaikan ole juru bicara keamanan nasional Gedung Putih John Kirby.
“Saya pikir, kami sangat keras dalam mengecam kematian warga sipil tak berdosa. Kematian-kematian ini tidak terkecuali, tapi kita harus memahami apa yang terjadi di sini. Akan ada penyelidikan. Mereka sudah mengatakan bahwa itu adalah kesalahan yang tragis. Mereka sedang menyelidikinya. Mereka telah mampu menyelidiki diri mereka sendiri dan meminta pertanggungjawaban orang-orang pada masa lalu. Kita akan lihat apa yang mereka lakukan di sini," kata Kirby.
Militer Israel mengatakan sedang menyelidiki insiden tersebut, seperti disampaikan oleh Mayor Jenderal Yifat Tomer-Yerushalmi, Oditur Jenderal Militer Israel.
“Tentu saja, dalam perang dengan cakupan dan intensitas seperti itu, insiden sulit juga terjadi. Beberapa kejadian, seperti kejadian tadi malam di Rafah, sangat sulit. Rincian kejadian kemarin masih dalam penyelidikan, dan kami berkomitmen untuk menyelesaikannya hingga tuntas. IDF menyesalkan segala kerugian yang dialami warga sipil yang tidak terlibat dalam perang," kata Tomer-Yerushalmi.
Namun kelompok militan Hamas – yang memicu konflik ini dengan serangannya pada 7 Oktober terhadap Israel – segera menyalahkan AS, seperti disampaikan oleh Osama Hamdan, juru bicara senior Hamas.
“Kami menganggap pemerintahan Amerika dan Presiden [Joe] Biden – secara pribadi – bertanggung jawab penuh atas pembantaian buruk terhadap pengungsi di Rafah dan atas semua kejahatan yang dilakukan oleh pendudukan di Jalur Gaza, dan itu dilakukan dengan Amerika yang terus memberikan dukungan politik dan militer untuk pendudukan, dan terus memasok peralatan militer, bom dan amunisi yang membunuh puluhan – jika tidak ratusan anak-anak – perempuan dan warga sipil setiap hari," ujar Osama Hamdan.
Tindakan Israel di Gaza, yang telah menyebabkan kematian lebih dari 35.000 orang, menurut Kementerian Kesehatan Gaza yang dikelola Hamas, telah dikutuk oleh beberapa sekutu AS. Badan-badan kemanusiaan, termasuk badan pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Gaza, menuntut gencatan senjata.
Your browser doesn’t support HTML5
Sementara para penyelidik berusaha mengungkapkan apa yang terjadi di Rafah, para analis mengatakan pemerintahan Biden berada di bawah tekanan besar.
Raphael Cohen adalah ilmuwan politik senior di RAND Corporation, sebuah lembaga pemikir kebijakan global yang berbasis di Washington, DC.
“Meskipun mereka menghadapi banyak pukulan balik dari sayap kiri partainya, mereka juga tidak ingin mengasingkan pemilih yang berhaluan tengah dan Demokrat yang pro-Israel. Oleh karena itu, pemerintahan Biden telah terjebak di antara hal-hal tersebut, dan hal ini membuat politik dalam keseluruhan menjadi sangat sulit bagi pemerintahan Biden," kata Raphael Cohen, pakar politik senior di RAND Corporation, wadah pemikir global berbasis di Washington DC.
Sementara pihak-pihak yang berkuasa belum mencapai penyelesaian dan konflik terus berlanjut, para korban sipil itulah yang menanggung akibatnya. [lt/ab]