Lembaga yang mengajukan dokumen Amicus Curiae atau sahabat pengadilan bagi terpidana penodaan agama di Tanjung Balai, Meliana, terus bertambah. Diawali oleh Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI), disusul Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Pusat Bantuan Hukum Indonesia dan LSM di Sumatera Utara.
Sekjen KPI, Dian Kartika Sari mengatakan, lembaganya mengirimkan dokumen sahabat pengadilan karena melihat adanya ketidaksetaraan sosial dan gender dalam kasus Meliana. Seperti status Meliana sebagai perempuan, berpendidikan SMP, keturunan Tionghoa dan beragama Buddha.
BACA JUGA: Sejumlah Tokoh Keberagaman Indonesia Bersedia menjadi Penjamin MelianaPadahal menurutnya Mahkamah Agung telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum, sebagai acuan.
"Kita sebenarnya melihat tanggung jawab hakim melaksanakan Perma No 3 Tahun 2017. Kalau kawan lainnya seperti MaPPI soal rumusan pasalnya dan prosesnya, kemudian teman-teman ICJR ngomongin soal pembuktiannya apakah cukuo atau tidak," jelas Dian Kartika Sari di Jakarta, Jumat (21/9).
Dian Kartika Sari berharap dokumen-dokumen sahabat pengadilan yang dikirim oleh sejumlah lembaga dapat membantu majelis hakim Pengadilan Tinggi Medan memutus kasus banding yang diajukan Meliana dengan adil. Sebab kesalahan memutus banding Meliana akan menambah preseden buruk bagi iklim toleransi di Indonesia.
Sementara itu, Direktur ICJR Anggara meminta majelis hakim Pengadilan Tinggi Medan agar menghadirkan psikolog untuk membuktikan unsur permusuhan atau penodaan agama yang ditudingkan ke Meliana. Hal itu sekaligus untuk menjawab pernyataan jaksa dan hakim Pengadilan Negeri Medan yang menyebut unsur dengan sengaja telah terpenuhi dalam kasus Meliana.
"Ini agak tidak umum ya yang kami usulkan adalah pengadilan harusnya mengundang ahli psikologi. Untuk memeriksa kejiwaan Meliana, apakah pada saat ucapan itu dinyatakan, itu benar-benar tersirat tidak hanya niat tapi dia bermaksud untuk memusuhi agama tertentu. Ini yang tidak banyak terjadi dalam kasus-kasus penodaan agama, padahal itu penting untuk melihat profilling," tutur Anggara.
Your browser doesn’t support HTML5
Di samping itu, ICJR mengingatkan majelis hakim pengadilan tinggi agar memutus banding Meliana berdasarkan fakta hukum yang ada, bukan atas tekanan massa. Menurutnya fakta hukum dalam kasus ini yaitu Meliana memprotes pengeras suara dari masjid, bukan suara azan. Putusan yang bebas dari tekanan massa penting untuk menjaga integritas pengadilan yang mandiri.
Terkait tekanan massa ini, Peneliti Setara Institute Achmad Fanani Rosyidi mengatakan, dari kasus penodaan agama sepanjang 1965-2017, 62 kasus dari 97 kasus yang ada melibatkan tekanan massa. Karena itu, ia mengusulkan agar pasal tersebut untuk dihapuskan saja dari aturan perundang-undangan Indonesia.
"Pasal penodaan agama itu harusnya dihapus, kemudian diganti pasal-pasal pemidanaan terhadap kelompok atau figur yang sering memproduksi ujaran kebencian, harusnya lebih mencegah di area itu. Bukan malah meletakkan pasal yang bisa digunakan berbagai kelompok untuk melakukan serangan-serangan yang sebenarnya tidak berdasar hukum," tutur Fanani.
Hingga laporan ini disampaikan Meliana masih mendekam di penjara Tanjung Balai, Sumatera Utara, setelah divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Medan pada 21 Agustus lalu. Meliana telah mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Medan pada pekan berikutnya.
Pengajuan sahabat pengadilan juga pernah dilakukan sejumlah LSM dalam kasus Prita Mulyasari yang dituduh mencemarkan nama baik Rumah Sakit Omni International Alam Sutra Tangerang. Prita kemudian dibebaskan dari segala dakwaan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang pada akhir 2009. [Ab/em]