Dunia Islam, seperti negara-negara Islam, tokoh-tokoh muslim, warga muslim Amerika dan juga muslim dari negara-negara lain, sempat bereaksi negatif atas terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat. Reaksi ini wajar karena dalam kampanyenya, Trump sering menampakkan diri sebagai anti muslim. Namun, dua pengamat hubungan internasional yang dihubungi VOA justru berpendapat sebaliknya.
Muhammad Nasir Badu Ph.D., pengamat hubungan internasional dari Universitas Hasanuddin Makasar menyatakan, Trump yang terlihat selama kampanye, belum tentu sama dengan Trump ketika menjadi presiden nanti. Dengan latar belakang sebagai pebisnis, Nasir yakin perhatian utama Trump adalah membangun ekonomi Amerika. Terlebih salah satu janjinya adalah menciptakan lapangan kerja, dan mengembalikan industri ke dalam negeri.
Trump memang berorasi dengan slogan-slogan yang dianggap anti muslim. Tetapi semua orang tahu, dia juga berbisnis dengan banyak pengusaha dari Timur Tengah. Amerika selama ini juga punya kepentingan besar menciptakan perdamaian dengan dunia Islam.
Dikatakan Nasir, Trump akan meneruskan perjuangan menciptakan hubungan baik dan perdamaian dengan kalangan muslim, karena dia dan Amerika sendiri tidak bisa memutus keterkaitan dengan negara lain. Trump juga bukan penguasa tunggal, sebagai presiden dia akan dikelilingi banyak orang, dan kebanyakan keputusannya akan dipengaruhi oleh orang-orang tersebut.
“Dalam pemahaman saya, mengikuti apa yang sudah ada selama ini, sebetulnya kekhawatiran itu terlalu berlebihan. Donald Trump ini kan bukan penguasa tunggal, di Amerika cukup banyak komponen lain yang bisa menentukan relasi antara Amerika dengan negara-negara Timur Tengah, misalnya," kata Muhammad Nasir Badu.
"Kalau kita mengatakan kemunculan Trump akan mempengaruhi pola hubungan Amerika dengan Timur Tengah semakin tidak jelas, tentu Amerika yang akan rugi, dan dunia internasional tidak akan membiarkan itu terjadi. Itu barangkali hanya penyampaian di kampanye untuk menarik pemilih, tetapi the real Trump belum tentu demikian,” lanjutnya.
Nasir yang merupakan pakar Kajian Amerika ini mengajak masyarakat untuk membedakan seseorang yang berkampanye, dengan seseorang setelah terpilih dalam satu jabatan. Kampanye selalu dilakukan dengan slogan-slogan untuk menarik pemilih. Slogan-slogan itu bisa apa saja, disesuaikan dengan aspirasi pemilih secara umum. Hanya saja, setelah terpilih, belum tentu apa yang menjadi slogan itu benar-benar diterapkan.
“Saya kira ada kesalahan-kesalahan ketika dunia melihat kemunculan Trump ini menjadi presiden yang kemudian diasosiasikan dengan anti Islam, anti imigran dan seterusnya. Kita bisa lihat di pidato kemenangannya, bahwa dia sebetulnya sudah sangat melunak dalam masalah itu,” imbuh Nasir.
Pengamat hubungan internasional yang juga Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Prof. Bambang Cipto memiliki pendapat yang senada. Mengambil sudut pandang yang berbeda, kata Bambang, negara-negara Islam terutama di Timur Tengah sebenarnya sudah tidak sepenuhnya tergantung pada Amerika. Dengan kondisi itu, siapa yang kemudian menjadi presiden, bukanlah persoalan besar bagi dunia Islam.
Bambang juga yakin, rakyat Amerika memilih Trump bukan karena slogan-slogan anti Islam atau anti imigran. Faktor ekonomi mungkin lebih berperan, di mana kelas pekerja menginginkan tersedianya lapangan pekerjaan yang lebih banyak.
“Sesuai dengan naluri dia, sebagai seorang pebisnis, dia akan memanfaatkan pengalaman dia. Dia ingin membalik semua kondisi di Amerika ini. Dia akan fokus ke ekonomi dan sedikit mengurangi urusan internasional, seperti yang dilakukan oleh Presiden Bill Clinton pada 1992, menciptakan 4 juta lapangan kerja dalam waktu 2 sampai 3 tahun. Trump ini saya kira maunya begitu, membangkitkan kembali Amerika tetapi terutama dalam sektor ekonomi,” kata Bambang Cipto.
Bambang Cipto yang pernah melakukan riset pasca doktoral di Arizona State University, Amerika Serikat, justru melihat Trump relatif tidak setuju dengan perang. Dengan pilihan semacam itu, barangkali proses perdamaian di kawasan Timur Tengah akan lebih baik.
Pada gilirannya, dunia Islam akan menikmati konsentrasi Trump memperbaiki ekonomi dalam negeri, sehingga konflik di Timur Tengah akan berkurang. Wajah Amerika di bawah Trump bagi dunia Islam mungkin tidak langsung akan menjadi lebih ramah, tetapi fokusnya dalam urusan dalam negeri memberi kesempatan untuk penyelesaian konflik secara damai.
“Kalau Trump terlalu keras, dia akan terisolir. Problem dia adalah ekonomi dalam negeri. Dia akan fokus di situ, saya kira. Dia tidak akan menghabiskan triliunan dolar untuk berperang, misalnya. Justru masuk akal sebagai pengusaha, dia akan menjalin hubungan lebih baik dengan siapa saja, termasuk dunia Islam,” imbuhnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Negara-negara di Timur Tengah, dan juga Indonesia, kini memiliki hubungan lebih dekat dengan China , terutama dalam perdagangan. Bambang Cipto yakin, Trump akan berkonsentrasi merebut dominasi China dalam beberapa tahun terakhir itu. [ns/lt]