Presiden Joko Widodo mematok angka pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 sebesar 5,2 persen. Target tersebut dinilai cukup realistis oleh beberapa kalangan mengingat ekonomi Tanah air pada kuartal-II melambat sebesar 5,05 persen.
Saat menyampaikan pidato Nota Keuangan, di Gedung MPR/DPR RI, Jakarta, Jumat (16/8), Jokowi mengatakan target ini dipilih mengingat kondisi ekonomi global yang masih relatif stagnan. Ia menekankan bahwa pertumbuhan ekonomi Tanah Air di tahun depan masih akan bertumpu pada permintaan domestik.
“Daya beli masyarakat akan dijaga ketat dengan pengendalian inflasi, penciptaan lapangan kerja, serta dukungan program bansos (bantuan sosial) dan subsidi,” ungkap Jokowi.
BACA JUGA: PMI Manufaktur Anjlok, Tanda Ekonomi Indonesia Melambat?Pemerintah, kata Jokowi juga akan mengupayakan peningkatan produk-produk yang bernilai tambah tinggi, berorientasi ekspor yang tentunya didukung oleh insentif fiskal yang kompetitif dengan tetap menjaga keberlanjutan fiskal.
Jaga Target Inflasi di Kisaran 2,5%
Target inflasi dalam RPABN 2025, lanjut Jokowi akan tetap dijaga dalam kisaran 2,5 persen. Selain itu, nilai tukar Rupiah diperkirakan akan berada pada kisaran Rp16.100 per dollar Amerika Serikat (AS) serta suku bunga Surat Berharga Negara (SBN) bertenor 10 tahun berada pada kisaran 7,1 persen.
Harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Oil Price/ICP), katanya diperkirakan akan berada pada $82 per barel, serta lifting minyak diharapkan mencapai 600 ribu barel per hari, dan gas bumi mencapai 1,0005 juta barel setara minyak per hari.
Sementara, pendapatan negara pada 2025 dipatok sebesar Rp2.996,9 triliun, yang terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp2.490,9 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp505,4 triliun dengan tetap menjaga iklim investasi dan kelestarian lingkungan serta keterjangkauan layanan publik.
Agar target pendapatan negara tersebut tercapai, Jokowi mengatakan pemerintahan yang akan datang akan melanjutkan reformasi perpajakan melalui perluasan basis pajak dan peningkatan kepatuhan wajib pajak, perbaikan tata kelola dan administrasi perpajakan, serta pemberian insentif perpajakan yang terarah dan terukur.
“Belanja Negara direncanakan sebesar Rp3.613,1 triliun yang terdiri dari, belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp2.693,2 triliun, serta Transfer ke Daerah,” katanya.
BACA JUGA: Menkeu: APBN Defisit Rp93,4 Triliun per Juli 2024Defisit anggaran pada 2025, tambahnya direncanakan sebesar 2,53 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) atau Rp616,2 triliun yang akan dibiayai dengan memanfaatkan sumber-sumber pembiayaan yang aman dan dikelola secara hati-hati.
Presiden: APBN 2025 Harus Dirancang Fleksibel
Mantan gubernur DKI Jakarta itu menekankan desain belanja dan pendapatan serta pembiayaan dalam anggaran tahun depan ini harus dirancang fleksibel, dengan tetap menyediakan ruang fiskal untuk mengantisipasi ketidakpastian dan mendukung keberlanjutan pembangunan dalam transisi peralihan pemerintahan.
“APBN 2025 dirancang untuk menjag Stabilitas, Inklusivitas, dan Keberlanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan melalui pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan,” jelasnya.
Jokowi, dalam kesempatan ini sempat menyinggung salah satu program unggulan Presiden terpilih Prabowo Subianto yakni Makan Bergizi Gratis, yang katanya akan diarahkan untuk meningkatkan gizi anak sekaligus memberdayakan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), dan meningkatkan ekonomi masyarakat kecil di daerah.
“Program Makan Bergizi Gratis dilakukan secara bertahap, diselaraskan dengan kesiapan teknis dan kelembagaan, serta tata kelola yang akuntabel,” tuturnya.
Ekonom: Target Pemerintah Realistis
Ekonom CORE Indonesia, Yusuf Rendy, menilai bahwa target yang dipatok pemerintah dalam RAPBN 2025 sebesar 5,2 persen cukup realistis. Menurutnya, pemerintah kerap menyampaikan batas atas pertumbuhan ekonomi nasional di kisaran 5,5 persen.
“Dengan asumsi perbedaan satu tahun, saya kira menjadi penting untuk menyesuaikan target pertumbuhan ekonomi yang tidak berbeda jauh dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi di sepanjang tahun 2024," kata Yusuf lewat pesan tertulisnya kepada VOA.
BACA JUGA: Geliat UMKM Lokal Hadapi Ancaman Resesi EkonomiDi sisi lain, Yusuf melihat perbedaan ataupun target pertumbuhan ekonomi 5,2 persen, menunjukkan pemerintah mencoba realistis untuk melihat bagaimana ekonomi bisa tumbuh dalam perbedaan satu tahun dengan beragam tantangan yang dilihat sampai dengan pertengahan 2024.
Yusuf juga menyoroti target defisit anggaran yang ditetapkan 2,53 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), yang menurutnya juga dimoderasi mengingat sebelumnya beredar isu bahwa target defisit APBN batas atasnya bisa mencapai 2,8 persen.
Ia menjelaskan penyesuaian target-target ini diperlukan mengingat isu disiplin fiskal sempat menjadi kekhawatiran publik. Selain itu, Yusuf menilai bahwa target defisit 2,53 persen tersebut memperlihatkan pemerintahan saat ini mencoba untuk mengakomodasi kebutuhan belanja pemerintahan baru. Pada saat yang sama, juga tetap memperhatikan prinsip disiplin fiskal dalam pengelolaan APBN dalam jangka menengah dan jangka panjang.
Lebih jauh, Yusuf mengatakan bahwa akselerasi pertumbuhan ekonomi akan menjadi salah satu pekerjaan rumah yang akan diestafetkan dari pemerintahan saat ini ke pemerintahan baru.
Ia menekankan pemerintahan baru harus mencari cara bagaimana kemudian memastikan target akselerasi pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek ini bisa tercapai. Hal ini sangat penting mengingat dalam 10 tahun kepemimpinan Jokowi target pertumbuhan ekonomi yang dipatok relatif tinggi tidak tercapai.
“Jadi saya kira nantinya APBN 2025 juga akan difungsikan untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi baik untuk mengejar target 5,2 persen atau bahkan dalam jangka menengah di atas angka itu,” katanya.
Your browser doesn’t support HTML5
Yusuf menambahkan dalam upaya penurunan tingkat kemiskinan juga merupakan salah satu pekerjaan rumah dari pemerintahan baru yang sangat penting. Menurutnya, perbaikan data harus dilakukan agar tepat sasaran.
“Apalagi data ini juga berkaitan dengan penggunaan yang ditujukan bagi program-program baru. Nantinya data dari bantuan sosial. Tentu juga akan berkorelasi dengan data yang digunakan untuk program-program baru ini. Harapannya program baru bisa meminimalisir error penerima dari mereka yang kemudian berhak dari bantuan atau program itu sendiri,” tambahnya.
Terkait penggangguran, Yusuf menyoroti proporsi tenaga kerja di sektor informal yang masih relatif besar.
"Hal ini yang saya kira tidak terlalu tersirat dalam pidato RAPBN yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo, padahal upaya untuk menurunkan pekerja di sektor informal saya kira juga berkaitan dengan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang,” pungkasnya. [gi/em/ft]