Ekspor Bijih Mentah Bauksit Resmi Dilarang, Jumlah Smelter Belum Memadai

Gundukan bauksit di pabrik aluminium terintegrasi Shandong Nanshan Aluminium di Bintan, 5 Mei 2023. (REUTERS/Edgar Su)

Presiden Joko Widodo resmi melarang ekspor bijih mentah bauksit pada 10 Juni lalu. Namun, pelarangan tersebut tidak didukung dengan kesiapan fasilitas pengolahan hasil tambang (smelter) yang ada.

Staf khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Minerba Irwandy Arif mengatakan dari 12 smelter bauksit yang ditargetkan, baru empat yang beroperasi.

Ia pun menyayangkan lambatnya progress pembangunan smelter bauksit ini. Menurutnya, pemerintah sudah memberikan waktu kepada industri untuk bersiap melakukan hilirisasi industri sejak dikeluarkannya UU no 3 tahun 2020.

“Bahwa kalian atau industri masih bisa melakukan ekspor tiga tahun setelah UU ini dikeluarkan, diberi waktu dengan mendirikan smelter. Memang dari 12 smelter yang direncanakan hanya empat dari tiga perusahaan (yang sudah beroperasi). Yang delapan ini masih sangat rendah progress dari pembangunan smelternya. Ternyata dari delapan itu ada tujuh yang masih berbentuk lapangan,” ungkap Irwandy dalam acara “Untung Rugi Larangan Ekspor Mineral Mentah” di Jakarta, Senin (12/6).

Ia menyebut, berdasarkan pengamatan di lapangan kendala utama dari tersendatnya pembangunan smelter bauksit ini adalah pendanaan dan kurang kuatnya komitmen industri tersebut.

BACA JUGA: Para Penambang Bauksit Desak Pemerintah Pertimbangkan Kembali Larangan Ekspor

“Mungkin kendala pertama dan yang paling utama (adalah) pendanaan atau ada juga barang kali yang niatnya memang kurang bagus. Mungkin ya, misalnya pokoknya saya jual sampai saya dilarang, kalau smelter saya gak jadi ya tidak apa-apa. Mungkin saja seperti itu. Ini banyak dugaan seperti itu. Tetapi pemerintah sangat mengharapkan mereka bersungguh-sungguh supaya ikut memajukan hilirisasi di Indonesia,” jelasnya.

Muncul kekhawatiran dari berbagai pihak akan terjadi penumpukan bijih mentah bauksit di dalam negeri seiring dengan kebijakan pelarangan ekspor tersebut. Namun, Irwandy mengklaim bahwa hal itu tidak akan terjadi. Ia menuturkan rata-rata produksi bijih bauksit saat ini mencapai 31 juta ton, dengan daya serap hingga 14 juta ton dari empat smelter yang sudah beroperasi.

“Kemampuan produksi dari smelter yang sudah beroperasi belum penuh. Jadi, penumpukan pasti tidak akan terjadi, kalau menurut saya. Mungkin yang sisa iya, tapi akan diupayakan untuk bisa diserap oleh smelter yang sudah beroperasi,” jelasnya.

“Tetapi kalau perhitungan 18 juta ton itu, 31 juta dikurang 14 juta misalnya, itu tidak terjadi karena mereka (industri) tidak akan menambah karena nggak bisa jual, nggak bisa ekspor. Dan mereka menunggu pasti masih bisa menjual apabila smelter yang beroperasi menambah kapasitas. Jadi tentunya sangat tergantung pada kemajuan penambahan kapasitas yang terjadi di empat smelter yang sudah beroperasi,” tambahnya.

Smelter PT Freeport Indonesia dibangun di atas lahan 100 hektare yang diproyeksi akan bisa memproduksi konsentrat tembaga 1,7 juta ton per tahun. (Biro Setpres)

Terlepas dari semua itu, Irwandy menegaskan bahwa kebijakan larangan eskpor bahan mentah mineral ini perlu untuk dilakukan demi kemajuan bangsa dan negara.

Karakteristik yang Berbeda

Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia Daymas Arangga mengatakan agar permasalahan pada bauksit tidak terulang kembali kepada bahan mineral tambang lain, pemerintah perlu melakukan kajian lebih mendalam sebelum memberlakukan hilirisasi industri. Ia mengatakan, masing-masing bahan mineral mempunyai karakteristik yang berbeda.

Seorang pekerja memproses nikel di pabrik peleburan nikel PT Vale Tbk, dekat Sorowako, pulau Sulawesi, Indonesia, 8 Januari 2014. (REUTERS/Yusuf Ahmad)

“Perlu ada kajian yang lebih lanjut. Kenapa? Karena karakteristik dari mineral tersebut juga berbeda dibanding dengan nikel dan bauksit, pasarnya berbeda. Itu yang kita perlu mitigasi bagaimana ketika mineral tersebut sudah menjadi barang setengah jadi atau barang jadi bisa terserap dengan baik oleh market. Dan market-nya perlu disesuaikan lagi dalam 10-20 tahun ke depan akan seperti apa barang yang memang diperlukan dan ini kaitannya dengan ESG (environmental, social and governance),” jelas Daymas.

Ia mencontohkan Republik Demokratik Kongo yang gagal melakukan hilirisasi untuk mineral kobalt.

Meski begitu, menurutnya, hilirisasi harus segera dilakukan, karena Indonesia sendiri dibandingkan negara lain sudah cukup terlambat.

“Kita sudah berpuluh-puluh tahun mengekspor mineral bahan mentah dan yang mendapatkan nilai tambah justru negara lain. Apalagi kita menyadari bahwa sumber daya mineral itu tidak bertambah karena tidak terbarukan. Jadi akan semakin berkurang. Semakin lama kita memulai, itu potensi kerugian yang akan dialami negara akan semakin besar,” tuturnya.

Your browser doesn’t support HTML5

Ekspor Bijih Mentah Bauksit Resmi Dilarang, Jumlah Smelter Belum Memadai

Ekonom Indef Eko Listyantono mengungkapkan ketidaksiapan smelter untuk mengolah bijih mentah bauksit ini membuktikan belum matangnya peta jalan hilirisasi industri bauksit. Menurutnya, nikel cenderung lebih siap dalam menghadapi kebijakan pelarangan ekspor karena ekosistemnya sudah terbangun terlebih dahulu, dan in terbukti dengan jumlah smelter yang memadai.

“Jadi, pelarangan (ekspor) itu sebetulnya harus paralel dengan kesiapan pengolahan industri dii dalam negerinya. Kalau tidak ya nanti, memang akan mengguncang harga bauksit dunia, tapi mungkin akan sebentar karena pada akhirnya Ok, (importir) tidak bisa dapat dari Indonesia, dari Australia dan beberapa negara lain juga ada. Kalau mereka beralih ya nanti tidak akan menjadi ekosistem. Itu kan tidak boleh terjadi, karena kalau cuma begitu kita yang rugi, sudah menutup, tidak dapat devisa, engga tumbuh juga industri hilirnya,” ungkap Eko.

BACA JUGA: Pemerintah akan Hentikan Ekspor Tembaga Mentah Tahun Ini

Maka dari itu, Eko menyarankan kepada pemerintah terus mendorong industri agar berkomitmen kuat dalam mendukung upaya hilirisasi industri bauksit tersebut. Pengawasan yang ketat dan ketegasan dari pemerintah ini juga sangat dibutuhkan agar ekosistem ini bisa tumbuh lebih pesat lagi ke depannya.

“Harus ada roadmap yang jelas. Misalkan dalam tiga tahun 12 smelter harus terbangun dulu. Itu ada monitoring-nya. Ketika ada pembangunan smelter yang telat, seharusnya ada alarm, dan pemerintah harus berbuat sesuatu supaya ada target yang jelas kapan harus menutup ekspor mentah. Ini yang kadang-kadang pemerintah lebih ke politiknya menutup dulu, bikin gejolak di harga dunia. Ujung-ujungnya kalau tidak siap mau diapakan? Kan relaksasi lagi mungkin,” pungkasnya. [gi/ab]