Sebuah pengadilan Pakistan telah menjatuhi hukuman mati pada empat pria, Rabu (19/11), atas pembunuhan seorang kerabat perempuan, yang oleh para pembunuh itu disebut “honor killing” (pembunuhan demi kehormatan).
Kejahatan itu didokumentasikan dengan baik. Sang korban, Farzana Iqbal, dipukuli sampai mati di luar sebuah gedung pengadilan tempat ia mencoba mencari perlindungan dari saudara-saudaranya, yang marah karena ia menikahi seorang pria yang mereka tak setujui. Suaminya mencoba meminta polisi di dekatnya untuk mengintervensi, namun sia-sia.
Terungkapnya data bahwa suami Iqbal telah membunuh istri pertamanya untuk menikahinya menambah kerumitan kasus ini.
Namun yang membuat kasus Iqbal menakjubkan adalah hukuman itu, menurut para aktivis hak asasi manusia, yang mencatat bahwa pembunuhan ratusan perempuan tidak mendapat hukuman setiap tahun di Pakistan.
Menurut Komisi HAM Pakistan, kelompok hak asasi independen terbesar di negara itu, lebih dari 900 perempuan dibunuh atas nama kehormatan pada 2011. Yayasan Aurat, sebuah kelompok hak perempuan, mengatakan lebih dari 3.000 orang dibunuh untuk “kehormatan” di Pakistan sejak 2008.
Pembunuhan di Desa
Pada kasus Shazia, seorang perempuan yang dirajam sampai mati di sebuah desa dekat Mardan, provinsi Khyber Pakhtunkhwa pada 2011, peristiwanya jauh lebih tipikal.
Shazia telah dinikahkan secara paksa pada 2010 dan menolak tinggal bersama suaminya.
Ia masih tinggal bersama orangtuanya setahun kemudian, ketika salah satu dari abang iparnya meyakinkannya untuk mengunjungi rumah suaminya di desa tetangga.
Ternyata ajakan itu adalah jebakan. Tidak jauh dari rumah orangtua Shazia, 13 pria sedang menunggunya. Sang abang ipar dan pria-pria tersebut menyerangnya, merajamnya dengan batu sampai ia mati.
Si abang ipar menjustifikasi aksinya, meyakini bahwa Shazia telah “melanggar kehormatan keluarga” dengan menolak tinggal bersama suaminya.
Pembunuhan 'Diampuni'
Berdasarkan tradisi keluarga, kesukuan dan klan yang masih kuat di Pakistan dan negara-negara Muslim lainnya, seorang perempuan disalahkan karena "mengorbankan kehormatan keluarga" jika menikah karena cinta, diduga berhubungan seks di luar nikah, atau melanggar tradisi.
Seorang perempuan seperti itu kemudian menghadapi kematian, seringkali di tangan para anggota keluarga, yang karena tradisi yang sama, dapat "diampuni" oleh kerabat lainnya atas kejahatan itu.
Tidak ada pengampunan dari keluarga Shazia. Ayahnya, Zareen Taj, seorang petani berusia 60an, mencari keadilan di Pengadilan Tinggi di Peshawar yang penuh sesak. Saat itulah pengacara Khyal Muhammad Momand melihatnya di lorong pengadilan.
"Ia terlihat lelah dan frustrasi, berlinang air mata," ujar Momand, mengenang pertemuan pertama mereka dua tahun lalu. Momand mengambil kasus tersebut tanpa bayaran. Ada keberhasilan dan kemunduran dalam upayanya.
Mereka berhasil membawa kasus tersebut ke pengadilan tahun lalu. Namun empat tersangka, termasuk suami Shazia, dinyatakan tak bersalah karena kurangnya bukti.
Pengadilan juga telah mengeluarkan perintah penahanan untuk tersangka utama, si abang ipar, namun polisi belum melaksanakannya.
Pakistan memidanakan pembunuhan demi kehormatan pada 2004, namun menurut catatan Yayasan Aurat, aturan itu sering diabaikan dan tidak diketahui, bahkan oleh polisi, di luar kota-kota besar.
Saima Munir dari Aurat mengatakan "riset kami di distrik Nowshera (di provinsi Khyber Pakhtunkhwa) menemukan bahwa meski ada beberapa kasus pembunuhan semacam itu pada lima tahun terakhir, tidak satu kasus pun yang didaftarkan" di bawah undang-undang 2004.
Peningkatan Pembunuhan
Dalam sebuah laporan baru-baru ini, Yayasan Aurat mengatakan pembunuhan demi kehormatan disebabkan tidak hanya karena para individu yang mempercayai kedigdayaan laki-laki dan hak mereka untuk memperlakukan perempuan sebagai properti, tapi juga akibat norma-norma masyarakat yang menekan keluarga untuk menghukum kerabat perempuan yang dianggap melanggar tradisi-tradisi feodal.
Para peneliti khawatir seiring semakin banyaknya perempuan yang menggunakan hak-hak dasar mereka, peristiwa pembunuhan akan meningkat.
Bahkan dalam kematian, para perempuan itu terus menderita. Munir mengatakan perempuan yang dibunuh atas nama kehormatan secara otomatis mendapat stigma dalam masyarakat yang didominasi laki-laki, dan masyarakat , bahkan para hakim, cenderung bersimpati dengan para pembunuh.
Tidak semua hakim seperti itu.
Mantan hakim dan ahli hukum Liaquat Ali mengatakan "para pembunuh mengelak dari hukum, karena pada sebagian besar pembunuhan tersebut, orang-orang yang terlibat adalah anggota keluarga dan seringkali mereka mencapai kompromi."
Hal itu terjadi dalam kasus pembunuhan istri pertama oleh suami Farzana Iqbal, yang "diampuni" oleh putra istri pertama.
Langkah-langkah pertama, menurut Yayasan Aurat, adalah meningkatkan kesadaran polisi dan otoritas hukum bahwa aturan itu mendukung mereka dalam menahan dan menghukum para pembunuh itu.
Kelompok itu juga merekomendasikan pelibatan masyarakat untuk menjauhkan para pembunuh itu, bukannya memuji mereka, yang dapat melibatkan kampanye masif untuk mendorong hak asasi manusia.
Selain itu, media juga didesak untuk terlibat karena banyak pembunuhan semacam ini tidak dilaporkan. Perhatian media telah berperan dalam kasus Farzana Iqbal.
Kematian Shazia, seperti begitu banyak lainnya, tetap ada di bawah bayang-bayang. Menurut pengacara Momand, kisah Shazia, seperti para korban lainnya, adalah "penyangkalan keadilan." (VOA/Iftikhar Hussain, Sadia Qasim Shah, Riaz Hussain)