Pemerintah Kabupaten Poso di Sulawesi Tengah mendirikan dua laboratorium schistosomiasis di Kecamatan Lore Barat dan Lore Utara, sebagai upaya memberantas habis penyakit "demam keong". Di Indonesia, penyakit ini hanya ditemukan di dataran tingga Napu dan Bada, Kabupaten Poso, serta dataran tinggi Lindu, di Kabupaten Sigi, provinsi Sulawesi Tengah.
Pemerintah Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah membangun dua laboratorium schistosomiasis di dua kecamatan di Poso yang akan memudahkan masyarakat di 23 desa melakukan deteksi dini infeksi cacing schistosoma japonicum.
Pendirian dua laboratorim itu untuk mendukung pemda mencapai target eradikasi penyakit yang dikenal dengan sebutan "demam keong" pada 2025, kata Bupati Poso Darmin Agustinus Sigilipu kepada VOA usai peresmian dua laboratorium itu di Kecamatan Lore Barat, Selasa (6/8).
Your browser doesn’t support HTML5
Masyarakat bisa memeriksakan tinjanya setiap enam bulan sekali di kedua fasilitas tersebut. Bila hasil tes positif terjangkit, warga bisa segera mendapatkan pengobatan.
“Di Indonesia penyakit schisto ini dikatakan penyakit yang terabaikan. Kami berjuang sehingga didirikanlah dua lab Schisto, baik yang ada di sini, di Lore Barat maupun di Lore Utara. Mudah-mudahan dengan dua lokasi ini bisa meng-cover penyakit yang berada di sekitaran lembah Bada dan Napu,”kata Darmin.
Seseorang bisa terinfeksi schistosomiasis bila stadium larva (serkaria), yang berasal dari keong oncomelania hupensis lindoensis, menembus kulit ketika berada di area fokus keong. Gejala stadium awal ditandai dengan gatal-gatal karena serkaria menembus kulit. Pada stadium akut, yang dimulai sejak cacing betina bertelur, gejala yang timbul adalah demam, diare, berat badan menurun, dan disentri. Pembesaran hati dan limfa dapat terjadi lebih dini pada stadium akut tersebut.
Bila penyakit sudah menahun, bisa menimbulkan kerusakan hati atau sirosis hati dan limfa yang menyebabkan penderita menjadi lemah. Bila tidak diobati bisa menyebabkan kematian.
Di Indonesia, schistosomiasis hanya ditemukan di dataran tinggi Napu dan Bada di Kabupaten Poso serta di dataran tinggi Lindu Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah.
Taufan Karwur, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Poso menjelaskan kondisi alam di tempat itu memungkinkan keberlangsungan hidup keong oncomelania hupensis lindoensis, yang berukuran antara sebulir padi hingga biji jagung itu, sebagai inang dari larva cacing schistosoma. Sehingga, penyakit schistosomiasis hanya ditemukan wilayah itu.
"Ada karakteristik alam yang mendukung, sehingga keong perantara cuma ada di sana, di Napu dan Sigi,” papar Taufan Karwur. Karakteristik alam itu antara lain, temperatur, suhu, vegetasi, ph (derajat keasaman) tanah dan air," tambah Taufan.
Kasus schistosomiasis di Sulawesi Tengah ditemukan pertama kali pada tahun 1937. Namun upaya pengendaliannya baru mulai dilakukan tahun 1973.
“Dia (schistosomiasis) kategorinya adalah penyakit purbakala yang sudah ditemukan seribu tahun sebelum masehi. Itu sudah ditemukan di salah satu mumi,” tutur Bupati Poso Darmin.
Taufan mengakui banyaknya jumlah sebaran fokus keong Oncomelania hupensis lindoensis yang mencapai 269 lokasi di 23 desa di lima kecamatan, menjadi tantangan upaya pemberantasan demam keong. Selain di kabupaten Poso, juga terdapat 14 area fokus keong di lima desa di dataran tinggi Lindu, Kabupaten Sigi.
“Ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah dalam upaya eradikasi schistosomiasis karena keberadaan fokus (keong) yang menjadi sumber reinfeksi bagi penduduk yang telah menjalani pengobatan dan dinyatakan sembuh,” kata Taufan.
BACA JUGA: Pemerintah Kabupaten Poso Targetkan Eradikasi Schistosomiasis dalam 5 TahunIndikator keberhasilan eradikasi itu, menurut Taufan, bila selama lima tahun berturut-turut sejak 2020-2025 tidak ditemukan satu pun kejadian schistosomiasis pada manusia, hewan mamalia dan keong perantara. Pada 2018, tingkat prevalensi penyakit itu terhadap manusia di Kabupaten Poso sudah berada di bawah satu persen, yaitu 0,36 persen.
Partisipasi Masyarakat
Junus Widjaja, peneliti dari Balai Litbang Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, menyebutkan keberhasilan eradikasi itu juga perlu dibarengi dengan peningkatan pengetahuan masyarakat, untuk mendorong keterlibatan warga dalam pencegahan dan pengendalian schistosomiasis di sekitar lingkungan mereka.
“Tingkat partisipasi masyarakat sangat rendah, karena pengetahuan masyarakat yang belum sama sekali mengetahui tentang adanya schistosomiasis ini, penularannya di mana, pengendaliannya bagaimana,” ungkap Junus Widjaja saat ditemui di Laboratorium Schistosomiasis di Lore Barat.
Ia mengatakan saat ini pihaknya bersama pemerintah kabupaten Poso membentuk tiga tim, yang namanya diambil dari Bahasa Bada, untuk pengendalian penyakit. Tim Peda bertugas untuk mendata sasaran fokus keong, membantu melakukan survei tinja, dan membantu kegiatan pengobatan penderita. Tim Mobasa mensosialisasikan mengenai penyakit itu, dengan melibatkan tokoh agama, di sela-sela acara kegiataan keagamaan. Sedangkan Tim Mepaturo, yang terdiri dari guru, mengajarkan materi terkait schistosomiasis sebagai muatan lokal di Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. [yl/ft]