Etnis Karen di Myanmar Kembali Angkat Senjata

Saw Shwe Maung, petugas medis "Karen National Liberation Army" memeriksa kesehatan warga etnis Karen.

Di negara bagian Karen, Myanmar, lebih dari 2.000 mantan pengungsi kembali harus mengungsi setelah pasukan pemerintah melanggar perjanjian gencatan senjata tahun 2015 dengan memasuki wilayah yang dikuasai kelompok etnis bersenjata tersebut, untuk membangun jalan militer.

Perang saudara antara Uni Nasional Karen dan tentara Myanmar selama lebih dari 60 tahun menyebabkan lebih dari 100 ribu etnis Karen mengungsi ke kamp-kamp di perbatasan Thailand-Myanmar. Wartawan VOA Steve Sandford berbicara dengan orang-orang di zona konflik negara bagian Karen yang terimbas pertempuran baru.

Di desa terpencil Kaw Row Ban Tha, makanan dan minuman dibagi antara penduduk setempat dan banyak kerabat mereka yang akhirnya tiba di sana. 16 Tahun lalu, Naw Moo Day Wah ditembak pada bagian perutnya oleh tentara Myanmar saat melarikan diri dari pertempuran di ladang jagung terdekat. Setelah perjanjian gencatan senjata tahun 2015 ditandatangani, harapan pupus untuk pulang dengan aman ketika pertempuran kembali terjadi Maret lalu setelah tentara memasuki wilayah tersebut.

"Setelah gencatan senjata, saya pikir situasinya akan lebih baik. Kami memutuskan untuk pulang ke rumah sendiri, tanah kami sendiri. Tetapi situasinya memburuk. Kami harus meninggalkan desa kami lagi," kata Day Wah.

Anak-anak pengungsi etnis Karen usai menerima pelajaran di sekolah yang diadakan di kamp pengungsi (foto: ilustrasi).

Pengungsian berkelanjutan itu membuat ribuan orang berisiko terkena penyakit karena musim hujan tiba, selain bahaya tambahan terjebak dalam baku tembak.

Saudara ipar Saw Htoo Say Wah - aktivis terkemuka yang berusaha melestarikan tanah leluhur bagi pengungsi yang pulang - dibunuh tentara Myanmar dalam pertempuran itu.

"Menurut saya mereka menandatangani gencatan senjata karena ingin membangun jalan melewati tanah kami. Mereka datang untuk memberi tahu kami tetapi kami tidak ingin mereka membangun jalan. Kami tidak bisa berbuat apa-apa karena kami hanya penduduk desa kecil. Kami tidak bisa melawan mereka," ujar Say Wah.

14 Bendungan direncanakan akan dibangun di tepian Sungai Salaween, tetapi sebagian besar listrik hasilnya sudah ditetapkan akan dijual ke luar negeri. Itu adalah rencana yang tidak sesuai dengan kelompok bantuan Karen, yang menilai pembangunan itu sebagai akar masalah, dengan sedikit atau tanpa manfaat bagi penduduk setempat.

Saw Paul Sein Twa dari Jaringan Aksi Lingkungan dan Sosial Karen mengatakan, "Alasan pengungsian itu adalah karena tentara Burma ingin membangun mega proyek pembangunan di daerah kami. Dan untuk membangun proyek-proyek itu di daerah kami, mereka perlu meningkatkan keamanan."

Pejabat Uni Nasional Karen (KNU) Padoh Kwe Htoo Win, mengatakan tentara Myanmar kini setuju menghentikan untuk sementara pembangunan jalan dan mengizinkan penduduk pulang ke daerah tersebut. Tetapi ketua KNU dengan cepat menambahkan orang-orang Karen akan membutuhkan konfirmasi di lapangan untuk melihat apakah itu benar-benar terjadi. VOA belum berhasil mendapat komentar dari pemerintah Myanmar. [ka/al]