Ketidakstabilan perekonomian, khususnya di beberapa negara emerging market berimbas terhadap Indonesia. Hal itu terlihat dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap Dolar AS yang menyentuh level Rp14.840 pada pembukaan perdagangan pagi tadi.
Ekonom INDEF Bhima Yudistira Adhinegara mengatakan faktor eksternal dan internal menjadi penyebabnya. Melemahnya mata uang Turki, Argentina dan beberapa Negara lain, menyebabkan para investor cenderung memburu aset yang sifatnya aman, seperti mencari aset yang berdenominasi Dolar, berburu Dolar, berburu mata uang Yen, Surat Utang Amerika dan lain-lain.
Your browser doesn’t support HTML5
Sedangkan dari sisi internal, Bhima menyebut bahwa pemerintah tidak bisa meredam lajunya impor walaupun kinerja ekspor sendiri mengalami perbaikan. Menurutnya, langkah pemerintah dengan membuat aturan penyesuaian tarif pajak penghasilan (PPh) impor untuk 900 komoditas impor dilakukan terlambat sehingga memperparah pelemahan rupiah, dan bukan tidak mungkin kalau kondisi ini tidak kunjung membaik, pelemahan rupiah diprediksi bisa mencapai ke level psikologis Rp15.000.
"Ini semuanya agak sedikit terlambat untuk mengantisipasi, seperti kebijakan pemerintah untuk pengendalian impor, grasak-grusuk. Dari 500 barang yang mau dikendalikan jadi naik 900 barang, sampai sekarang tidak ada kepastian aturan teknis yang dibuat oleh kementerian keuangan. Itu justru menimbulkan kekhawatiran dari pengusaha, kenapa? Kalau 900 barang itu termasuk barang-barang yang dijual oleh pengusaha dalam negeri, sebelum aturan itu turun pengusaha dalam negeri mempercepat impor," jelas Bhima Yudistira Adhinegara.
"Untuk mempercepat impor, mereka akan lebih cepat borong dolar daripada biasanya, daripada rencana bisnis mereka. Nah, itu kan akhirnya memperparah kondisi, jadi kalau September terus begini, jangankan akhir tahun, akhir September batas psikologis Rp15 ribu, bisa saja tercapai," imbuhnya.
Menurut Bhima, akan cukup sulit mengembalikan rupiah di bawah level Rp14.000. Tetapi pemerintah bisa mencegah agar jangan sampai level Rp15.000 tercapai atau bahkan lebih dari Rp15.500. Salah satunya yaitu dengan intervensi yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) dengan menaikkan lagi suku bunga acuan BI (BI Rate) dua kali lagi di tahun ini. Lalu juga memberikan berbagai insentif kepada para pengusaha.
Sementara itu , Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan tentu pemerintah akan mengawasi sentimen yang berasal dari Global. Walaupun kondisi dalam negeri cukup baik, seperti inflasi terkendali, namun defisit yang terjadi dalam transaksi berjalan tidak bisa terus dibiarkan.
Untuk mengatasi berbagai hal tersebut, langkah jangka pendek yang akan dilakukan kata Sri, adalah dengan pengedalian dari sisi kebutuhan devisa. Menurutnya, hal inilah yang bisa di kontrol, di bandingkan dengan sentimen eksternal.
"Kami telah bersama Mendag dan Menperin melihat komposisi dari komoditas-komoditas yang selama ini di impor namun nilai tambahnya bagi perekonomian tidak banyak, dia tidak merupakan bahan baku, dia bukan merupakan barang modal, dia barang konsumsi, dan konsumsinya pun ini adalah yang levelnya tersier bukan orang yang konsumsinya seperti tempe, tahu yang orang-orang Indonesia suka makan oleh karena itu kita akan melihat dan kita sudah mengidentifikasi sekitar 900 HS Kode yang kita dengan Menperin sedang melihat yang mana yang bisa di produksi dalam negeri," jelas Sri Mulyani.
Your browser doesn’t support HTML5
Pemerintah pun akan terus memperkuat Fundamental Ekonomi Indonesia, karena sentimen eksternal yang tidak bisa dikendalikan, seperti halnya dengan memperkuat kinerja ekspor, dan juga memperbaiki lingkungan bisnis sehingga Capital Inflow yang berasal dari Foreign Direct Investment (FDI) bisa terus ditingkatkan.
"Namun sekali lagi kan situasi ini sedang berlangsung, krisis di Argentina masih akan berjalan, dan mungkin akan berdampak spill over kepada seluruh negara berkembang. Oleh karena itu kami akan terus memperkuat fondasi ekonomi, ekspor akan tetap kita dorong," imbuhnya. [gi/em]