“Semua lemak di badannya sudah diolah tubuh karena dia tidak makan-makan, kini dia tinggal tulang pembalut kulit,” kata Makiah al-Aslami, seorang dokter di baral laut Yaman.
“Dia mengalami kekurangan gizi ekstrem,” lanjutnya.
Kelaparan yang dialami Qoba mewakili potret yang lebih besar: apa yang dirasakan mayoritas masyarakat di sana. Perang di Yaman telah menghancurkan ekonomi, memaksa sekitar 10 juta rakyatnya terjungkal di jurang kelaparan, seperti yang dilaporkan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Kepada Reuters, Aslami memprediksi jumlah pasien kurang gizi yang mendatangi kliniknya akan terus bertambah. Bulan ini saja dia telah merawat lebih dari 40 perempuan hamil yang malnutrisi.
BACA JUGA: DPR AS Setujui Resolusi Hentikan Bantuan Militer bagi Koalisi Pimpinan Saudi di Yaman“Jadi, bulan-bulan ke depan akan ada sekitar 43 bayi kurang gizi di sini,” ungkapnya.
Berdasarkan laporan kliniknya, sejak akhir 2018 saja, sudah ada 14 orang yang tewas karena kekurangan gizi di klinik tersebut.
Terlunta-lunta
Qoba, 10 orang saudara serta bapaknya dipaksa meninggalkan rumah mereka di perbatasan Yaman dengan Arab Saudi. Mereka terpaksa tinggal di bawah pohon, cerita kakak Qoba, yang juga bernama depan Fatima.
Fatima bercerita mereka terpaksa melarikan diri karena serangan bom dari koalisi pimpinan Arab Saudi, yang ikut mengintervensi upaya pengembalian kekuasaan Presiden Yaman Abd-Rabbu Mansour Hadi pada 2015, setelah gerakan oleh kelompok Houthi melengserkan pemerintah pada 2014.
“Kami tak punya uang untuk membeli makanan. Yang bisa kami makan cuma apa yang dikasih oleh tetangga atau keluarga pada kami,” kata Fatima. Ayah mereka, yang kini berusia 60an tahun menganggur.
“Jika kami tetap tinggal di pohon dan kelaparan, tidak bakal ada yang tahu. Kami tak punya masa depan,” ungkapnya.
BACA JUGA: DPR AS Dukung Penghentian Bantuan untuk Saudi di YamanSetelah menghubungi dua rumah sakit yang menolak mereka, seorang kerabat memberi mereka uang untuk membawa Qoba ke sebuah klinik di Aslam, distrik miskin di Yaman yang dikuasai kelompok Houthi.
Terbaring di Kasur rumah sakit, kulit Qoba tampak tipis bagaikan kertas. Matanya besar. Tulang-tulangnya menonjol.
Aslami bercerita pasien kecilnya itu butuh setidaknya sebulan untuk memulihkan kondisi tubuh dan mentalnya.
Bagaimana Jazirah Arab?
Arab Saudi adalah salah satu pihak yang terlibat dalam Perang Yaman. Mereka menilai kelompok Houthi adalah antek Iran, musuh regional terbesar Arab Saudi. Arab ingin menghentikan upaya Teheran mencengkram negara tetangganya itu.
Tentara kerajaan Saudi dikerahkan di perbatasan dan sejumlah provinsi Yaman. Mereka juga melakukan serangan udara di sejumlah kawasan yang dikuasai Houthi.
Sementara, Uni Emirat Arab (UEA) juga merupakan salah satu anggota utama koalisi Arab Saudi. UEA ingin mencegah milisi Islam berkembang di Yaman, apalagi pelabuhan Yaman dianggap penting bagi kawasan. UEA telah mengerahkan tentaranya di Yaman.
BACA JUGA: Putra Mahkota Saudi akan Kunjungi PakistanDengan rumitnya perang di Yaman, PBB berupaya untuk menerapkan genjatan senjata dan menarik pasukan dari pelabuhan utama Yaman, Hodeidah. Pelabuhan ini adalah gerbang bagi mayoritas barang impor Yaman.
Namun, usaha ini belum berhasil. Kekerasan masih terus terjadi, memotong akses makanan, bahan bakar minyak dan obat-obatan.
Meskipun begitu, pada dasarnya masih ada makanan di Yaman. Tetapi inflasi parah membuat warga tak mampu membeli makanan.
“Ini bencana kemanusiaan… Orang-orang Yaman menderita, terpojok. Satu-satunya solusi adalah dengan menghentikan perang ini,” tutur Aslami. (rh)