Kasus ini kembali menyoroti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di kawasan itu. Kelompok-kelompok HAM menyerukam langkah hukum yang lebih kuat untuk melindungi perempuan yang menjadi korban KDRT pasangannya.
Setiap jam, enam perempuan meregang nyawa karena femisida di seluruh dunia. Inilah data di UN Women dan Kantor PBB Penanganan Kejahatan dan Narkota (UNODC). Tetapi angka sesungguhnya diyakini jauh lebih tinggi.
Berbicara pada wartawan di Jenewa, juru bicara Sekjen PBB Antonio Guterres, Stephane Dujarric mengatakan pembunuhan brutal atlet Uganda Rebecca Cheptegei, yang kurang dari satu bulan lalu mewakili negaranya di Olimpiade Paris, menunjukkan masalah yang jauh lebih besar dan seringkali terabaikan.
Sementara di Uganda, keluarga Cheptegei menunggu kedatangan jenazah perempuan berusia 33 tahun dari Eldoret di Kenya. Di kota inilah Cheptegei sempat dirawat selama beberapa hari karena luka bakar sangat parah pada lebih dari 80 persen tubuhnya, setelah mantan pacarnya membakarnya hidup-hidup dalam sebuah perselisihan.
Sekjen Federasi Atletik Uganda, Beatrice Ayikoru, mengatakan kematian Cheptegei merupakan sebuah peringatan karena masih banyak atlet elit lainnya yang menjadi sasaran KDRT.
“Insiden ini sedianya membuka mata kita, yang ada dalam dunia olahraga. Ada kekerasan diam-diam terhadap perempuan, khususnya atlet perempuan. Kita perlu memperjuangkan olahraga yang aman karena kita memiliki orang-orang yang berniat memanfaatkan mereka untuk keuntungan pribadi tanpa sepengetahuan para atlet.”
Your browser doesn’t support HTML5
Atlet Perempuan Kenya Kerap Alami KDRT
Kekerasan berbasis gender terhadap atlet perempuan di Kenya menjadi perhatian publik pada tahun 2021 ketika Agnes Tirop ditikam dan dipukuli hingga tewas. Pada tahun 2022, pelari Olimpiade Damaris Muthee Mutua juga ditemukan tewas dicekik. Kedua perempuan itu kehilangan nyawa mereka di tangan pasangan mereka sendiri.
Dalam sebuah pernyataan, Presiden Atletik Dunia Sebastian Coe mengatakan inilah saatnya untuk mengkaji bagaimana meningkatkan kebijakan keamanan bagi para atlet, tidak saja di dalam arena tetapi juga di luar; bagaimana melindungi atlet perempuan dengan kemampuan terbaik kita dari segala bentuk pelecehan.
Setelah kematian pelari jarak jauh Kenya dan pemegang rekor dunia Agnes Tirop pada tahun 2021, rekan pelari maraton Viola Cheptoo Lagat mendirikan sebuah yayasan bernama Tirop’s Angels dan sejak itu menentang KDRT. Cheptoo mengatakan kematian Cheptegei adalah situasi yang sangat mirip dengan yang terjadi pada Tirop, yang terjadi hanya beberapa minggu setelah dia kembali dari Olimpiade.
Cheptoo mengatakan hadiah uang mungkin menjadi akar serangan ini. “Saat mereka pulang ke tanah air seusai pertandingan, pacar mereka menginginkan uang atau hadiah yang dimenangkan dan kemudian menyalahgunakan uang tersebut. Dan masalah lainnya adalah masyarakat, yang kerap membiarkan hal itu terjadi, tidak mengecamnya lagi atau menganggapnya sebagai pelanggaran hukum. Seorang perempuan dipukuli suami atau pacarnya dianggap suatu hal yang lumrah. Seseorang merampas properti orang lain dianggap lumrah. Masyarakat tidak bersuara apapun hingga orang tersebut hilang atau meninggal.”
Menteri Urusan Pemuda & Olahraga Kenya Kipchumba Murkomen mengatakan kekerasan gender kembali muncul di dunia olahraga elit, dan pejabat pemerintah berkewajiban untuk mendapatkan keadilan bagi para korban.
Aktivis: Stop Sebut KDRT, Ini Femisida!
Direktur Eksekutif di Pusat Pendidikan dan Kesadaran Hak Wangechi Wachira, sebuah LSM feminis di Kenya, mengatakan “sudah waktunya untuk berhenti menyebut pembunuhan ini sebagai kekerasan dalam rumah tangga, dan mengakuinya sebagai tindakan pembunuhan terhadap perempuan atau femisida.”
“Saat seorang perempuan memiliki keberanian untuk pergi ke kantor polisi, itu berarti mereka sudah mempunyai keberanian lain di luar struktur sosial, untuk mengatakan 'saya harus melaporkan ini ke kantor polisi, supaya bisa mendapatkan bantuan.' Kami belum pernah melihat roda keadilan bergerak secepat yang seharusnya,” kata Wachira.
Cheptoo mengatakan masih banyak hal yang seharusnya dilakukan. “Seluruh masyarakat harus bersatu dan bekerja untuk mengakhiri kekerasan berbasis gender. Dengan begitu kita tidak perlu mengatakan, 'Kali ini jangan lagi',” tandasnya.
Sebelum insiden KDRT yang berujung tindakan membakarnya hidup-hidup, Rebecca Cheptegei dan keluarganya telah melaporkan kekerasan yang dialaminya kepada pihak berwenang. Jika saja pihak berwenang bertindak tepat waktu, bukan tak mungkin kematian atlet lari maraton itu dapat dicegah. [em/jm]