Sebagai aktivis kesetaraan gender, Nur Hasyim, tak segan menolak undangan berbicara dalam seminar atau diskusi, bila acara tersebut tidak melibatkan pembicara perempuan.
Nur Hasyim berkomitmen bahwa perbincangan di ruang publik harus menyertakan perempuan sebagai pembicara. Keberpihakan itu penting karena terkait bagaimana pengetahuan diproduksi dan dikonsumsi masyarakat.
“Setiap diri kita, sengaja atau tidak, aktif atau tidak, laki-laki maupun perempuan, ikut andil di dalam melestarikan struktur seksisme di dalam masyarakat kita itu. Bahkan laki-laki yang sudah lama bekerja di isu gender sekalipun, kadang-kadang tanpa dia sadar, ikut andil dalam melestarikan isu seksisme itu,” kata Nur Hasyim yang juga dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, Semarang.
Nur Hasyim berbagi pandangan dalam seminar daring “Fenomena All Male Panels” yang diselenggarakan Pusat Studi Gender dan Anak, UIN Walisongo, Semarang. Seminar diselenggarakan pada Rabu (15/7).
Fenomena ‘all male panels’ atau ‘manel’ adalah munculnya dominasi laki-laki sebagai narasumber, baik dalam pemberitaan media, diskusi maupun seminar. Kondisi ini menyebabkan perspektif laki-laki mendominasi produksi pengetahuan, dan dalam banyak sisi melahirkan masalah tersendiri.
Perempuan dan produksi pengetahuan
Pengetahuan yang patriarkis memiliki karakter dominan dan digunakan sebagai instrumen penaklukan. Di sektor sumber daya alam misalnya, karakter pengetahuan ini adalah eksploitasi.
Menurut Nur Hasyim, kehadiran narasumber perempuan menjadi penting untuk memproduksi pengetahuan atau sudut pandang lain, misalnya perspektif tentang ecofeminism.
"Pengetahuan yang menggunakan perspektif feminis di dalam relasinya dengan alam. Perspektif yang tidak mendominasi tetapi holistik, bahwa manusia itu bagian dari sistem. Pengetahuan yang berorientasi pada pelestarian, tidak eksploitatif,” tambah Nur Hasyim.
Your browser doesn’t support HTML5
Menurut Nur Hasyim, penting untuk mendorong perempuan menyadari kehadiran mereka dalam proses produksi pengetahuan ini penting.
Produksi pengetahuan dalam pengaruh patriarki terbukti bermasalah, dan karena itu dibutuhkan pengetahuan alternatif. Perempuan juga harus melihat struktur di balik fenomena 'manel’, dan memiliki kesadaran kritis terkait agensi perempuan dalam memproduksi pengetahuan.
Keberpihakan dan Legitimasi
Tunggal Pawestri, manajer pengembangan program di LSM Belanda, Hivos Asia Tenggara, yang juga salah satu pembicara dalam diskusi itu, punya pengalaman berbeda terkait fenomena ‘manel’.
Sepanjang pandemi, ujar dia, ada begitu banyak diskusi daring diselenggarakan. Jika ditengok lebih jauh, mayoritas pembicara yang wajahnya terpasang di materi promosi acara, adalah laki-laki. Tunggal bahkan berbagi poster seminar mengenai nyeri haid, yang empat narasumbernya semua dokter laki-laki.
Padahal, kata Tunggal, setiap diskusi publik pasti membawa isu yang mewakili kepentingan umum sehingga dianggap penting untuk dibicarakan. Diskusi bertujuan antara lain bertukar gagasan, mempengaruhi wacana masyarakat, mempengaruhi kebijakan, hingga mengkonstruksi nilai. Karena perannya itu, representasi perempuan dalam setiap diskusi publik menjadi penting, kata Tunggal. Banyak lembaga internasional sudah memiliki kesepakatan untuk menghindari ‘manel’ dalam acara mereka.
“Di PBB, mereka merasa bahwa ini ada sesuatu yang salah, sehingga mereka membuat kesepakatan untuk tidak memiliki ‘all male panels’ dalam kegiatan mereka, ketika ada diskusi publik yang besar,” ujar Tunggal.
Ada sejumlah faktor, mengapa perempuan perlu hadir dalam diskusi. Mengutip data “Global Media Monitoring Project,” Tunggal mengatakan pada 1995 hanya 17 persen perempuan menjadi narasumber di media. Pada 2015, angka itu naik menjadi 24 persen. Data itu dikumpulkan dari 114 negara. Perempuan hadir sebagai narasumber dalam posisi ahli sebanyak 19 persen, dan hanya 16 persen narasumber isu politik dan pemerintahan adalah perempuan.
Faktor kedua adalah persoalan legitimasi substansi dan prosedur. Jika semua narasumber laki-laki, kata Tunggal, legitimasi substansi dan prosedur terhadap apa yang dihasilkan dalam sebuah diskusi sebenarnya berkurang.
Faktor ketiga yang penting terkait kehadiran perempuan dalam adu gagasan adalah untuk melawan mitos gender, bias dan stereotip. Hadirnya perempuan akan mengikis persoalan akses, dan partisipasi, mengikis mitos ketidakmampuan berbicara di depan publik dan menciptakan model panutan.
Pentingnya mendengar suara perempuan, tambah Tunggal, karena perbedaan pengalaman perempuan dan laki-laki. Perspektif yang berbeda dari pengalaman berbeda itu akan memperkaya hasil diskusi. Selain itu, narasumber perempuan juga terkait dengan upaya pengarusutamaan gender yang menjadi program nasional.
Tunggal menyebut, selalu ada alasan dari penyelenggara diskusi publik yang hanya menghadirkan laki-laki sebagai narasumber. Baik itu LSM, pemerintah maupun perguruan tinggi. Beberapa alasannya adalah bahwa tidak menemukan perempuan yang ahli dalam isu tersebut, sudah menemukan pembicara perempuan tetapi ada ketidaksesuaian jadwal, hingga alasan bahwa kualitas diskusi tidak akan turun meski tanpa pembicara perempuan.
Tunggal mengingatkan, kehadiran perempuan penting untuk memberi keluasan perspektif dalam diskusi publik. “Pengetahuan memang harus bebas nilai, tetapi kita tahu bahwa pengetahuan sangat dipengaruhi oleh banyak hal dalam produksinya. Kita akan bermasalah ketika pengalaman satu kelompok saja mendominasi sebuah produk pengetahuan. Entah disadari atau tidak,” tambah Tunggal. [ns/ft]