Organisasi HAM, “Human Rights Watch” mensponsori festival film tahunan di London, Toronto dan beberapa kota di Amerika, untuk menarik perhatian terhadap tekanan dan ketidakadilan di dunia.
Dua puluh dari 23 festival film tahunan “Human Rights Watch” di New York, telah diselenggarakan di Walter Reade Theatre di Lincoln Center for the Performing Arts yang bergengsi. Festival ini diselenggarakan oleh Organisasi HAM internasional “Human Rights Watch”.
“Brother Number One” adalah salah satu diantara 16 film dari 12 negara tahun ini. Film ini mengisahkan tentang warga Selandia Baru Kerry Hamill dan dua temannya yang tewas di Kamboja setelah berlayar secara tidak sengaja disana pada tahun 1978. Film ini meningkatkan kesadaran tentang rejim Khmer Merah dan pemimpinya – Pol Pot. Kakak laki-laki Kerry Hamill – Rob – mengatakan baru sekarang ini beberapa warga Selandia Baru sadar akan kegilaan yang terjadi di Kamboja pada akhir tahun 1970an itu.
“Jika saya tanya apakah mereka tahu siapa Pol Pot atau siapa Khmer Merah, tidak banyak yang tahu”, kata Rob.
Pertunjukkan-pertunjukkan dalam festival ini biasanya diikuti dengan diskusi yang melibatkan penonton, aktivis dan sutradara film. Mantan Uskup Anglikan Uganda Christopher Senyojo tampil dalam film “Call Me Kuchu” – sebuah film tentang tekanan pada kelompok homoseksual di negaranya. Ia mengatakan kepada VOA, kurangnya rasa belas kasihan mendasari terjadinya pelanggaran HAM.
“Ketika orang tidak menghargai orang lain sebagai manusia sesungguhnya, mereka tidak memiliki belas kasih pada orang lain. Mereka melakukan apapun yang ingin mereka lakukan seakan-akan mereka bukan manusia,” ungkap Christopher.
Festival film ini menjadi saksi kebengisan yang terjadi.
Film “Reportero” mendokumentasikan bahaya yang dihadapi wartawan yang meliput perang anti-narkoba di Meksiko. “The Invisible War” memusatkan perhatian pada masalah perkosaan dalam militer Amerika. “Little Heaven” menunjukkan kesengsaraan seorang anak yatim piatu Ethiopia yang kehilangan orang tuanya karena HIV-AIDS. Film “Ai Weiwei: Never Sorry” tentang pematung dan pembangkang Tiongkok – tepat bersamaan dengan munculnya kasus Ai Weiwei. Pembatasan jaminan Ai Weiwei telah dicabut baru-baru ini tetapi ia mengatakan ia masih belum bisa meniggalkan Tiongkok.
Film mengenai seni dan olahraga juga ditampilkan dalam festival ini. Festival ini menyorot hak-hak kaum perempuan yang dikemas secara menghibur, seperti perempuan Irak yang main bola basket.
Sebuah narasi dalam sebuah film Irak mengungkapkan “dilihat dari pandangan religi, olahraga adalah untuk laki-laki, bukan untuk perempuan. Karena tempat perempuan adalah di dalam rumah".
Benarkah demikian? Film “Salaam Dunk” menjawab pertanyaan itu.
“Ketika saya bermain bola basket, saya lupa segalanya, masalah dan kesulitan saya. Saya seperti seekor kupu-kupu yang terbang kian kemari. Ini yang saya dapatkan dari bermain bola basket, yang tidak saya dapatkan dimana pun," ungkap pemeran utama dalam film itu, seorang perempuan Irak.
Festival ini secara tidak langsung mengajak para penonton membantu memperbaiki situasi yang ditunjukkan dalam layar lebar.
Andrea Holley adalah wakil direktur festival tersebut, mengatakan,“Banyak pembuat film itu sendiri berkampanye bagi khalayak yang berbeda, baik untuk membantu meningkatkan kesadaran hak asasi kelompok tertentu lewat film mereka atau memperbaiki keadaan di wilayah yang digambarkan dalam film tersebut”, papar Andrea Holley.
Para pengunjung mengatakan festival film “Human Rights Watch” memberi informasi yang sering diabaikan oleh media.
“Brother Number One” adalah salah satu diantara 16 film dari 12 negara tahun ini. Film ini mengisahkan tentang warga Selandia Baru Kerry Hamill dan dua temannya yang tewas di Kamboja setelah berlayar secara tidak sengaja disana pada tahun 1978. Film ini meningkatkan kesadaran tentang rejim Khmer Merah dan pemimpinya – Pol Pot. Kakak laki-laki Kerry Hamill – Rob – mengatakan baru sekarang ini beberapa warga Selandia Baru sadar akan kegilaan yang terjadi di Kamboja pada akhir tahun 1970an itu.
“Jika saya tanya apakah mereka tahu siapa Pol Pot atau siapa Khmer Merah, tidak banyak yang tahu”, kata Rob.
Pertunjukkan-pertunjukkan dalam festival ini biasanya diikuti dengan diskusi yang melibatkan penonton, aktivis dan sutradara film. Mantan Uskup Anglikan Uganda Christopher Senyojo tampil dalam film “Call Me Kuchu” – sebuah film tentang tekanan pada kelompok homoseksual di negaranya. Ia mengatakan kepada VOA, kurangnya rasa belas kasihan mendasari terjadinya pelanggaran HAM.
“Ketika orang tidak menghargai orang lain sebagai manusia sesungguhnya, mereka tidak memiliki belas kasih pada orang lain. Mereka melakukan apapun yang ingin mereka lakukan seakan-akan mereka bukan manusia,” ungkap Christopher.
Festival film ini menjadi saksi kebengisan yang terjadi.
Film “Reportero” mendokumentasikan bahaya yang dihadapi wartawan yang meliput perang anti-narkoba di Meksiko. “The Invisible War” memusatkan perhatian pada masalah perkosaan dalam militer Amerika. “Little Heaven” menunjukkan kesengsaraan seorang anak yatim piatu Ethiopia yang kehilangan orang tuanya karena HIV-AIDS. Film “Ai Weiwei: Never Sorry” tentang pematung dan pembangkang Tiongkok – tepat bersamaan dengan munculnya kasus Ai Weiwei. Pembatasan jaminan Ai Weiwei telah dicabut baru-baru ini tetapi ia mengatakan ia masih belum bisa meniggalkan Tiongkok.
Film mengenai seni dan olahraga juga ditampilkan dalam festival ini. Festival ini menyorot hak-hak kaum perempuan yang dikemas secara menghibur, seperti perempuan Irak yang main bola basket.
Sebuah narasi dalam sebuah film Irak mengungkapkan “dilihat dari pandangan religi, olahraga adalah untuk laki-laki, bukan untuk perempuan. Karena tempat perempuan adalah di dalam rumah".
Benarkah demikian? Film “Salaam Dunk” menjawab pertanyaan itu.
“Ketika saya bermain bola basket, saya lupa segalanya, masalah dan kesulitan saya. Saya seperti seekor kupu-kupu yang terbang kian kemari. Ini yang saya dapatkan dari bermain bola basket, yang tidak saya dapatkan dimana pun," ungkap pemeran utama dalam film itu, seorang perempuan Irak.
Festival ini secara tidak langsung mengajak para penonton membantu memperbaiki situasi yang ditunjukkan dalam layar lebar.
Andrea Holley adalah wakil direktur festival tersebut, mengatakan,“Banyak pembuat film itu sendiri berkampanye bagi khalayak yang berbeda, baik untuk membantu meningkatkan kesadaran hak asasi kelompok tertentu lewat film mereka atau memperbaiki keadaan di wilayah yang digambarkan dalam film tersebut”, papar Andrea Holley.
Para pengunjung mengatakan festival film “Human Rights Watch” memberi informasi yang sering diabaikan oleh media.