“Lorena” Sorot Fenomena Perkosaan dalam Perkawinan

Produser eksekutif Jordan Peele (kiri) dan Lorena Gallo (dulu: Lorena Bobbitt), berpose pada pemutaran perdana film "Lorena" di Festival Film Sundance, Park City, Utah, 29 Januari 2019.

Setelah “The Clinton Affair” dan “Surviving R. Kelly” yang kontroversial, satu lagi film dokumenter akan disajikan pada publik minggu ini. Mengambil kisah nyata Lorena Bobbit yang memotong penis suaminya secara tidak sadar pasca berbagai aksi kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya,

“Lorena” akan diputar perdana 15 Februari nanti. Film itu kembali mengungkap fenomena perkosaan dalam perkawinan atau “marital rape.”

“Saya tidak tahu mengapa saya melakukannya malam itu. Saya khilaf,” ujar Lorena ketika diwawancarai stasiun televisi NBC hari Jumat (8/2), seminggu sebelum film dokumenter yang memotret bagian pahit kehidupannya 26 tahun lalu diudarakan.

John Wayne Bobbitt (suami Lorena Bobbitt) pada saat bersaksi di pengadilan Prince William, Manassas, Virginia 1 Januari 1994.

Perempuan kelahiran Bucay, Ekuador, tahun 1970 itu menjadi sorotan publik pada tahun 1993 karena tindakan yang tidak pernah terjadi sebelumnya dan memicu perdebatan sengit tentang kekerasan dalam rumah tangga KDRT, khususnya “marital rape” atau perkosaan di dalam perkawinan. Lorena, yang menikah dengan John Wayne Bobbitt pada tahun 1989, kerap dianiaya secara fisik dan psikis, dan mencapai puncaknya pada 23 Juni 1993 ketika ia diperkosa suaminya.

Lorena Bobbitt menangis pada saat hadir di pengadilan di Manassas, Virginia, 14 Januari 1994 (foto: dok).

Di sidang pengadilan Lorena mengatakan setelah diperkosa John, ia pergi ke dapur untuk minum dan melihat pisau dapur. Ia mengambil pisau itu dan kembali ke kamar tidur, memotong penis John yang sedang terlelap. Dengan sebelah tangan memegang potongan penis John, ia melarikan diri dengan mengemudikan mobil ke salon kecantikan kuku di mana ia bekerja, di dekat Maplewood Drive, Manassas, Virginia. Di tengah jalan, Lorena membuang potongan penis John dan menelpon 911. Puluhan polisi bekerja keras berupaya menemukan potongan penis itu dan memasukkannya ke kotak pendingin es untuk dilarikan ke rumah sakit dimana John dirawat. Dibutuhkan lebih dari 9,5 jam untuk menyambung kembali penis John itu.

Insiden ini menjadi berita utama media di dalam dan luar Amerika selama berbulan-bulan. Sidang pengadilan Lorena disiarkan langsung di beberapa jaringan televisi dan radio. Tak jarang ia menjadi lelucon di tabloid dan acara komedi televisi pada malam hari, termasuk program terkenal “Saturday Night Live.”

Ironisnya yang menjadi sorotan adalah soal tindakan pemotongan penis, bukan soal latar belakang tindakan itu. “Mereka selalu memusatkan perhatian pada hal itu (penis.red)...” ujar Lorena kepada suratkabar The New York Times 30 Januari lalu. “Sepertinya mereka (media.red) tidak tahu atau tidak peduli mengapa saya melakukan hal itu,” tambahnya.

Lorena Bobbitt memberikan keterangan kepada media di luar pengadilan Manassas, Virginia, 28 Februari 1994. Lorena dibebaskan dari semua dakwaan.

Tim juri yang beranggotakan tujuh perempuan dan lima laki-laki membebaskan Lorena dari segala tuduhan dengan alasan “temporarily insane” atau kehilangan akal sehat sesaat ketika memotong penis suaminya.

Data NCADV: 1 dari 10 Perempuan Pernah Diperkosa Pasangan

Kekerasan dalam rumah tangga, khususnya perkosaan dalam perkawinan atau “marital rape” ketika itu masih belum menjadi isu ramai dibicarakan. Meskipun mulai tahun 1993 sudah dinyatakan sebagai kejahatan di 50 negara bagian di Amerika, tetapi pembuktian kejahatan ini sangat sulit dilakukan. Umumnya pelaku berkilah dengan definisi “persetujuan,” seakan-akan perkawinan membuat pihak-pihak yang terikat dapat mendesakkan hasratnya tanpa perlu meminta persetujuan.

Kajian yang dilakukan Diana Russel tahun 1982 dan dipaparkannya dalam buku “Rape in Marriage” menunjukkan 14% perempuan yang disurvei mengalami kekerasan seksual oleh suami. Sementara Data National Coalition Agaist Domestic Violence (NCADV) atau Koalisi Nasional Menentang KDRT tahun 2018 menunjukkan 1 dari 10 perempuan pernah diperkosa oleh pasangan mereka, baik yang terikat perkawinan atau tidak. Jika dirinci, 1 dari 4 perempuan dan 1 dari 9 laki-laki mengalami aksi kekerasan oleh pasangan; baik dalam bentuk kekerasan seksual hingga kekerasan fisik dan psikis yang menimbulkan luka-luka, rasa ketakutan, gangguan stress pasca trauma (PTSD) hingga tertular penyakit menular.

Para aktivis perempuan melakukan aksi protes menuntut dihentikannya kekerasan terhadap perempuan di London, Inggris (foto: dok).

Bagaimana dengan di Indonesia?

Pusat Pengembangan Sumber Daya Untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan “Rifka Annisa” di Yogyakarta kepada VOA mengatakan meskipun banyak terjadi, rendahnya pengetahuan dan kesadaran warga tentang perkosaan di dalam perkawinan atau marital rape membuat korban umumnya enggan melapor pada otorita berwenang sehingga menghambat penegakan hukum dan pemberantasan kekerasan terhadap perempuan.

Padahal, sebagaimana Komisioner Komnas Perempuan Prof. Dr. Nina Nurmila, ada UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT Pasal 8 yang mengatur hal ini.

"Memang sebelumnya pernah ada diskusi alot di Indonesia bahwa jika sudah menikah, merupakan kewajiban istri untuk melayani suami. Tetapi kemudian sudah ada UU yang mengatur hal ini, yaitu UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT. Kemajuan besar lain saya kira adalah pengakuan para ulama dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia KUPI tahun 2017 lalu bahwa perkosaan dalam perkawinan memang ada, dan ini bertentangan dengan agama karena agama sendiri mewajibkan untuk memperlakukan istri dengan baik. Memaksa istri apalagi dengan cara kasar, untuk berhubungan seksual saat istri tidak menginginkan merupakan perkosaan dan melanggar ajaran agama karena agama memerintahkan memperlakukan istri dengan baik," papar Nina.

Aktivis perempuan, Nursjahbani Katjasungkana (courtesy: Facebook).

Aktivis perempuan Nursjahbani Katjasungkana juga mengakui kentalnya budaya patriarki yang membuat perkosaan dalam perkawinan menjadi kasus kekerasan seksual yang paling tidak pernah dilaporkan.

“Kami para aktivis perempuan sudah sejak lama memperjuangkan hal ini, sejak masih di Kalyanamitra dan LBH Jakarta tahun 1985 dulu. Tetapi kelompok agama, terutama Islam konservatif, menganggap dengan perkawinan maka istri menjadi properti laki-laki. Akad nikah dinilai sebagai consent (persetujuan.red) untuk menyerahkan jiwa raga kepada suami, termasuk dalam layanan seksual.”

“Marital Rape” Sulit Dibuktikan di Muka Hukum

Meskipun sudah ada undang-undang yang melindungi, adanya stigma sosial, dampak pada anak-anak dan keluarga, serta rasa malu seringkali menekan korban ketika mempertimbangkan untuk melaporkan atau tidak perkosaan dalam perkawinan yang dialaminya.

Pengadilan juga sulit mendapat pengakuan dari pihak lain karena seringkali kesaksian pasangan dan korban merupakan satu-satunya bukti perkosaan. Bukti DNA atau air mani misalnya tidak akan relevan karena mungkin dihasilkan dari hubungan seksual konsensual pasangan itu sebelum perkosaan.

Nina Nurmila menambahkan, “Perkosaan merupakan kejahatan yang paling sulit dibuktikan dan pihak yang mendapat laporan perkosaan seringkali tidak berperspektif perempuan, tidak memahami kondisi psikologis orang yang diperkosa, shock, bingung. Oleh karena itu dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual secara khusus ditekankan agar kesaksian korban menjadi bukti yang harus di dengar.”

Saatnya Ubah Paradigma Berpikir Lewat Pendidikan & Kampanye

Pengurus LBH APIK (Asosiasi Perempuan untuk Keadilan) Veni Siregar menilai sudah saatnya mengubah paradigma berpikir lewat pendidikan sejak dini dan kampanye.

“Ada paradigma yang salah ketika melihat kekerasan berbasis gender. Ada yang melihat hal ini sebagai sesuatu yang kebarat-baratan, atau justru yang sangat sempit. Apapun itu, sangat membahayakan upaya memberikan perlindungan, pemenuhan dan promosi hak-hak perempuan. Di sini perlunya dilakukan kampanye dan pendidikan terus menerus,” katanya.

Prof. Dr. Nina Nurmila, Komisioner Komnas Perempuan (Courtesy: Facebook).

Ironisnya pendidikan dan kampanye seperti ini kerap dipandang miring. Nina Nurmila menyesalkan hal ini.

“Saya menyesalkan buruk sangka pada kampanye atau pendidikan seperti ini. Misalnya pendidikan reproduksi, yang tujuan sebenarnya adalah supaya orang menghindar melakukan hubungan seksual hingga organ reproduksinya siap, menyadari konsekuensi hubungan seksual dan dampaknya ke depan. Di Indonesia mereka yang progresif dan konservatif masih saja bersiteru atas hal-hal seperti ini. Lihat saja maraknya iklan nikah muda atau poligami, yang seakan menutupi pendidikan reproduksi atau kampanye anti-kawin anak,” imbuh Nina.

Lorena Kini Aktif Bantu Korban KDRT

Kembali ke film dokumenter “Lorena” yang akan diputar 15 Februari mendatang, 26 tahun setelah kejadian itu Lorena kini memulai hidup baru. Ia menikah lagi dan memiliki seorang anak perempuan yang kini mulai beranjak remaja.

Lorena menjadikan pengalaman buruknya untuk membantu korban kekerasan dalam rumah tangga, karena sebagaimana pernyataannya kepada pers “meskipun sudah berlangsung puluhan tahun lalu, kondisi perempuan masih belum banyak berubah.” Ia berharap film dokumenter itu memberi banyak pelajaran pada perempuan, terutama korban perkosaan dalam perkawinan dan KDRT. (em)