Film ini berfokus pada pengalaman Riki, seekor badak Sumatera, yang culanya diambil oleh pemburu bernama Mr. Jak. Bersama seekor bebek, Riki pun berpetualang dari Sumatera hingga Kalimantan. Mereka mencari tabib untuk menumbuhkan kembali cula Riki yang hilang.
Selama perjalanan, para satwa harus melawan kelompok pemburu dan melindungi hutan habitat mereka.
Produser film, Genesis Timotius, mengatakan animasi ini mengambil sudut pandang alamiah satwa.
“Mungkin kalau kayak Kungfu Panda, pandanya geraknya seperti manusia, akan relatif lebih mudah dan bisa disesuaikan. Cuma karena kita ingin mengangkat satwa-satwa langka Indonesia, jadi secara tampilan dan juga pergerakannya kita harus semirip mungkin dengan aslinya,” ujarnya dalam konferensi pers di Bandung, (21/2) malam.
Diproduksi seluruhnya di tanah air, film ini rampung dalam 4,5 tahun. Waktu itu termasuk riset 6 bulan ke konservasi gajah di Way Kambas, Lampung.
Film ini disutradarai Erwin Budiono dan suara para karakternya diisi oleh aktor-aktris seperti Hamish Daud, Ge Pamungkas, Aurel Hermansyah, dan Mo Sidik.
Selain badak Sumatera, film animasi ini juga menampilkan karakter harimau Sumatera, bekantan, elang Jawa, dan orang utan. Satwa-satwa tersebut saat ini berstatus terancam kritis (critically endangered).
BACA JUGA: Seekor Harimau Sumatera di Bengkulu Mati, Diduga Kuat karena DiburuAnimasi Sebarkan Pesan Pelestarian Satwa
Lewat kisah yang diangkat, film ingin menyampaikan pesan pelestarian satwa kepada masyarakat. Menurut pengisi suara elang Jawa, Ridwan Kamil, film ini mampu menyindir orang-orang.
“Terkait orang yang masih menganggap alam lingkungan itu seolah-olah harus melayani gaya hidup manusia yang kadang-kadang nggak ada batasnya. Jadi nggak ada penghargaan terhadap keseimbangan alam,” ujar Gubernur Jawa Barat ini dalam kesempatan yang sama.
Sementara itu, penulis naskah Cassandra Massardi, berupaya memasukkan isu konservasi ke dalam kehidupan sehari-hari.
“Jadi emang kita main persoalan yang—supaya orang bisa berempati—kita mengambil secara psikologis. Masalah sehari-hari manusia juga. Supaya kita lebih relate,” jelasnya kepada VOA.
Pendekatan itu, dia harap, dapat menumbuhkan empati di hati para penonton.
“Kita tuh bisa berempati lah, gitu. Karena ini bukan cuma sekedar kece, bukan sekadar tontonan, atau mungkin orang tahunya binatang tuh dari kebun binatang gitu. Padahal mereka ini makhluk hidup yang punya perasaan,” tegasnya.
Cassandra ingin anak-anak yang menonton film ini akan tumbuh jadi pribadi yang menghormati lingkungan.
“Dari kecil mereka sudah bisa berempati, harapannya mereka saat dewasa, (jika) membuat keputusan yang mempengaruhi lingkungan hidup mereka akan lebih bijaksana,” harapnya.
Film ini diproduksi ketika konflik satwa dan manusia terus bermunculan akibat hilangnya habitat alami.
Your browser doesn’t support HTML5
Pada penghujung tahun 2019, sedikitnya ada tujuh kasus serangan harimau Sumatera di Sumatera Selatan. Dalam tujuh kasus tersebut, lima orang tewas, dua lainnya luka-luka.
Sementara bagi populasi badak Sumatera, Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) di Aceh menjadi benteng terakhir habitat alami. Badak Sumatera di kawasan TNGL diperkirakan saat ini tidak lebih dari 30 individu. [rt/ii]