Mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi pada Kamis (16/3) memberikan kesaksian dalam sidang kasus dugaan korupsi pada proyek kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP, di gedung Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Kemayoran, Jakarta Pusat, dengan terdakwa Irman, mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, dan mantan Ketua Panitia Lelang, Sugiharto. Sidang dilangsungkan setelah proses penyidikan selama lebih dari dua tahun.
Dalam sidang kedua dengan agenda mendengarkan keterangan saksi, tim jaksa penuntut umum tadinya akan menghadirkan delapan saksi. Namun, mantan Menteri Keuangan Agus Martowardoyo berhalangan hadir.
Kepada wartawan sebelum memberikan kesaksian di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Gamawan membantah dakwaan tim jaksa yang menyebutkan dirinya menerima uang US$ 4,5 juta dan Rp 50 juta. Menurutnya, selama ini tidak ada keanehan dalam proses pengadaan pada proyek e-KTP dan baru mendengar ada ketidakberesan dalam proyek tersebut setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan nama dua tersangka.
"Nggak, saya nggak pernah sama sekali. Pasti tidak pernah sama sekali. Proses sampai ditetapkan tersangka tidak ada masalah. Yang penting kita jangan buat-buat fitnah, jangan menzalimi orang. Dosa itu. Kita orang beragama, jangan membuat fitnah-fitnah, Biar saja proses peradilan ini kita hormati. Jangan buat fitnah-fitnah ke orang lain, saya juga nggak mau buat fitnah. Kalau kita memfitnah orang, kita juga dapat hukuman. Peradilan kan bukan di sini saja, nanti di akhirat ada lagi peradilan," tutur Gamawan.
Dalam dakwaan yang dibacakan tim penuntut umum Kamis (9/3) pekan lalu, negara dirugikan sekitar Rp 2,3 triliun dalam proyek pengadaan e-KTP. Dari total anggaran proyek sebesar Rp 5,9 triliun, 49 persen atau Rp 2,56 triliun dibagi-bagikan kepada sejumlah pihak, termasuk sejumlah pejabat Kementerian Dalam Negeri dan para anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat.
Gamawan mengatakan pada majelis hakim bahwa rencana anggaran biaya proyek e-KTP sudah diaudit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebelum dipresentasikan kepada KPK. Rencana anggaran biaya itu kemudian dipresentasikan di depan pimpinan KPK, termasuk Busyro Muqoddas.
Dia lantas memerintahkan Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Diah Anggraini untuk membuat surat yang ditujukan kepada BPKP dan Lembaga Kebijakaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), meminta kedua lembaga pemerintah ini mengawal proyek e-KTP sedari awal. Dengan bantuan LKPP, tambah Gamawan, tender proyek e-KTP dilakukan secara elektronik.
Ketika semua proses tender sudah selesai, Gamawan menyuruh Diah Anggraini menyurati BPKP untuk meminta audit kedua terhadap hasil tender proyek e-KTP. Dia mengatakan kalau proses tidak bermasalah menurut audit BPKP, dirinya baru mau menandatangani penetapan pemenang tender. Hasil audit BPKP menyatakan tidak ada masalah dan kerugian negara dalam tender e-KTP.
Sesuai perintah undang-undang, kata Gamawan, dirinya kemudian menandatangani surat penetapan pemenang tender dalam proyek e-KTP. Yang jadi pemenang adalah Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI).
Ketika ditanya majelis hakim soal rapat kerja dengan Komisi II DPR terkait proyek e-KTP, Gamawan menegaskan sebagai menteri dalam negeri dirinya wajib hadir karena rapat kerja tidak akan berlangsung tanpa kehadirannya. Dia mengaku tidak ingat berapa kali rapat kerja soal proyek e-KTP dengan Komisi II DPR digelar.
"Jadi rencana anggaran biaya itu sudah diaudit oleh BPKP. Nah, lalu itu yang saya bawa ke KPK. Saya presentasikan waktu itu di depan pak Busyro Muqoddas dan beberapa pimpinan lain, saya ingat pak Yasin, siapa satu lagi itu. Nah waktu itu oleh KPK diminta dua hal tolong dikawal oleh BPKP dan dikawal oleh LKPP. Kemudian saya minta Sekjen buat surat, bu Diah waktu itu tolong kirim surat ke BPKP dan LKPP minta ini dikawal, didampingi istilahnya, minta proses itu dari awal," tambah Gamawan.
Your browser doesn’t support HTML5
Di tengah persidangan perkara dugaan korupsi proyek e-KTP, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah dan Fadli Zon mengusulkan agar koleganya di Senayan menggunakan hak angket atau meyelidik pengusutan kasus tersebut oleh KPK yang mereka nilai janggal.
Fahri mengklaim 10 anggota dewan telah mendukung usulan tersebut, meski ia enggan mengungkapkan detailnya. Sesuai ketentuan, hak angket dapat diusulkan 25 anggota DPR dari fraksi yang berbeda. Usul tersebut harus disetujui oleh 50 persen tambah satu orang dalam rapat paripurna.
Namun, peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Hifdzil Alim mempertanyakan apa motif diluncurkannya hak angket ketika KPK sedang melakukan penuntutan terdakwa kasus korupsi e-KTP di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Usul hak angket itu menurutnya tidak tepat dilakukan saat ini karena kasus tersebut sedang berjalan di pengadilan. Hak angket ini lanjutnya akan menjadi intervensi politik di penegakan hukum.
Menurutnya, partai politik di DPR harus kembali menimbang ulang dengan sangat serius jika ingin menyetujui penggunaan hak angket ini karena apabila mereka menyetujui hak angket saat ini dan kemudian memanggil saksi-saksi yang sudah dipanggil KPK, itu akan dipandang oleh publik sebagai sebuah serangan politik kepada KPK. Dan ini, kata Hifdzil, akan sangat merugikan partai politik yang menandatangi rencana angket tersebut.
"Ketika aparat penegak hukum sedang mengusut kasus ini di persidangan seharusnya semuanya fokus di persidangan. Tidak boleh ada persidangan politik di tempat lain, di DPR misalnya. Itu juga akan mempengaruhi persidangan karena bisa jadi terpengaruh pengadilan tipikor itu . Hakim-hakim bisa terpengaruh, ini saksi-saksi menyatakan ini tapi di sana menyatakan begitu," papar Hifdzil.
Dalam sidang pembacaaan surat dakwaan minggu lalu, Jaksa Irene Putri menjelaskan duit suap dalam proyek e-KTP diduga mengalir ke pejabat Kementerian Dalam Negeri dan mayoritas anggota dan pimpinan Komisi II DPR periode 2009-2014.
Terdakwa Irman menerima fulus Rp 2,3 miliar, US$ 877.700, dan Sin$ 6 ribu, terdakwa Sugiharto mendapat Rp 3,4 miliar dan mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi memperoleh US$ 4,5 juta dan Rp 50 juta.
Mantan Ketua Fraksi Partai Golkar Setya Novanto kebagian Rp 574,2 miliar, Ade Komaruddin (US$ 100 ribu), mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum (Rp 574,2 miliar), mantan Ketua Fraksi Partai Demokrat Jafar Hafsah (US$ 100 ribu), mantan Wakil Ketua Komisi II DPR Chatibul Umam Wiranu (US$ 400 ribu), mantan Ketua DPR Marzuki Ali (Rp 20 miliar), Bendahara Umum PDIP Olly Dondokambey (US$ 1,2 juta), mantan Wakil Ketua Komisi II DPR Ganjar Pranowo (US$ 520 ribu), dan mantan anggota Komisi II DPR Yasona Laoly (US$ 84 ribu). [fw/em]