Ganjar mengeluarkan pernyataan itu saat berdiskusi dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Gedung Dewan Pers, di Jakarta, Kamis (30/11). Ia menjawab pertanyaan Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengenai apakah pers nasional sedang dalam kondisi yang baik. Pertanyaan itu sendiri merujuk pada pernyataan Presiden Joko Widodo sebelumnya yang menyebutkan bahwa kondisi pers di Tanah Air saat ini tidak baik.
“Pers sedang baik-baik saja? Tidak. Ada dua hal yang tidak baik dari pers pada saat ini. Satu bisnisnya. Bisnisnya sekarang sedang mengalami perubahan. Disrupsi di pers sekarang terjadi, dari yang konvensional menuju digital. Konvensionalnya mulai ditinggalkan, digitalnya belum 100 persen, dan ini secara bisnis tidak bagus. Dan banyak yang bangkrut, muncul yang baru. PWI punya PR, yang muncul baru yang media online ini bagaimana kita melakukan kontrol,” ungkap Ganjar.
Ia menjelaskan kehadiran media baru yang membludak menjelang pesta demokrasi 2024 ini seringkali tidak dibarengi dengan asal-usul yang jelas dan wartawan yang kredibel. Ganjar mengaku sering menghadapi persoalan seperti itu ketika ia masih menjabat sebagai gubernur Jawa Tengah.
“Apakah saya akan anti, tidak, saya tidak anti. Tapi ketika kemudian publik harus tahu banyak berita dari narasumber mestinya ditampilkan dengan fair. Ada data, ada fakta dan ada cover both sides menurut saya,” katanya.
“Jadi ketika dari sisi bisnis tidak baik-baik saja, orang menyampaikan itu. Hari ini menjelang pemilihan banyak sekali. Saya tidak berani mengatakan abal-abal, tapi karena dicari ada, tapi ketika kita lihat redaksinya, maaf ya tidak begitu. Sedangkan yang kredibel dengan susah payah menjalankan itu, akhirnya kita harus melakukan critical to critic. Siapa yang siap dikritik dan siapa yang tidak siap. Itu berat ternyata,” tambahnya.
Ketika ditanya soal kebebasan pers bila ia terpilih menjadi presiden, Ganjar menegaskan bahwa pemerintahannya nanti harus mau dikritik agar ada perbaikan.
“Konkretnya adalah pemerintahnya tidak boleh baperan kalau dikritik. Itu adalah bagian dari kebebasan pers,” tuturnya.
Selanjutnya, kata Ganjar, dengan adanya disrupsi dalam bisnis media ini, maka diperlukan dukungan dari pemerintah agar media konvensional tetap bisa bertahan di tengah gempuran media digital lain, seperti media sosial. Salah satunya adalah dengan cara mengubah regulasi atau diberikan sebuah insentif.
Media sosial yang Ganjar sebut sebagai kompetitor dari media konvensional ini mengatakan kehadiran dua-duanya dalam masa sekarang ini sangat penting. Namun, memang harus dicari cara agar kehadiran keduanya bisa seimbang dan berjalan beriringan.
Your browser doesn’t support HTML5
“Rasa-rasanya kita butuh ilmu komunikasi kita berkembang, agar yang mainstream tetap bisa menjalankan bisnis medianya sesuai dengan kode etik jurnalistik yang ada. Tapi yang media sosial mesti diajarkan sehingga ini seperti citizen journalism yang kemudian memegang kode etik jurnalistik juga. Nah yang ini belum, karena ini belum makanya kelihatan liar sekali," kata Ganjar.
"Tapi tantangannya ini akan berlaku dalam perkembangan waktu beberapa hari ini. Ini lah yang kemudian kita mesti mengedukasi publik sehingga bebas, liberal yang diharapkan itu ingat ada batas, kewajiban dan asas yang mesti dipenuhi. Ini proses yang mesti kita kelola,” imbuhnya.
BACA JUGA: Ancaman Kebebasan Berekspresi Dominasi Kasus Pelanggaran HAM di PapuaKetua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Hendry Ch Bangun berharap Ganjar bisa berkomitmen menjaga kebebasan pers apabila terpilih menjadi orang nomor satu di Indonesia.
"Kami akan meminta komitmen Pak Ganjar mengenai bagaimana menjaga (dan) mempertahankan kemerdekaan pers yang kadang-kadang terancam," ungkap Hendry.
Apalagi, ia mengakui bahwa saat ini kondisi pers di Tanah Air juga sedang tidak dalam kondisi baik-baik saja.
“Sekarang ini sedang mengalami krisis, baik secara etika, terlebih lagi secara ekonomi. Karena hampir 90 persen penghasilan yang dulu diperoleh media, jatuh ke media sosial, atau ke platform yang mengelola informasi lainnya,” katanya.
Meski Ganjar hanya memberikan gambaran secara umum terkait kebijakan dan dukungannya kepada pers apabila terpilih menjadi presiden, Hendry berharap Ganjar bisa membantu memperjuangkan kelangsungan hidup media massa secara konkret.
“Menurut saya, satu hal penting adalah UU Pers membuat tidak ada kontribusi pemerintah terhadap pers, padahal selama ini pers berkontribusi. Coba aja kayak COVID, membuat iklan masyarakat dan segala macam, puluhan miliar. Apa yang didapat pers dari pemerintah? Nol besar. Seharusnya pemerintah membantu, contohnya Pemda Sumatra Utara memberikan kontribusi Rp5 miliar untuk media cetak. Itu kan bentuk perhatian,” kata Hendry.
“Waktu di sini Pak Rudiantara (Menkominfo 2014-2019 -red), saya bilang bantu dong Pak, lalu dijawab “Kami tidak ada tugas dan fungsi membantu pers." Hanya dia memberi hibah kepada Dewan Pers, itupun sifatnya untuk gaji pegawai, membuat aturan dan segala macam. Sama sekali tidak ada kontribusi pemerintah. Itu yang seharusnya kita harapkan dari presiden berikutnya,” pungkasnya. [gi/ab]