Turunnya daya beli masyarakat sangat dirasakan sejumlah pedagang dan pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di Indonesia. Ngatmining, pedagang makanan di Jetis, Mojokerto, mengaku pendapatannya turun drastis akibat tidak terkendalinya harga bahan-bahan kebutuhan pokok.
“Memang kondisi sekarang itu jauh sama yang sebelum-sebelumnya. Sekarang itu ekonominya susah menurut aku. Kulakannya [barang jualan-red] masih banyak yang naik, terus pembelinya berkurang. Jauh banget. Pembelinya ya hampir berapa, separuh lebih. Gimana pendapatan orang-orang sekarang itu ya mungkin berkurang. Jadi me-manage pengeluarannya.”
Ngatmining harus menyiasati kondisi ekonomi yang tidak pasti ini dengan mengurangi ukuran produk makanan yang dibuatnya, tapi tetap mempertahankan kualitas. Tujuannya agar pembeli tetap datang , sehingga ekonomi keluarga tetap dapat berputar.
BACA JUGA: Badai Tekstil Nasional: Industri Ambruk, Kampus TerpurukHal yang sama diungkapkan Anita Poetri, yang harus mencari cara agar produk yang dijualnya tetap laku terjual,. Ia sedikit menurunkan ukuran produk dan mengambil sedikit keuntungan asalkan penjualan tetap lancar. Tidak hanya di bidang makanan, produk pakaian yang dipasarkan melalui jalur daring juga merasakan dampak krisis ekonomi global.
Perempuan dari Sidoarjo mengatakan, pemerintah perlu melakukan intervensi dengan mengendalikan harga-harga bahan kebutuhan, sehingga kelas menengah ke bawah tidak terimbas
“Resesi ekonomi yang saat ini terjadi itu kan secara global ya, semua orang merasakan. Dulu ketika saya awal-awal jualan online shop itu, saya pernah merasakan di titik puncak, boleh dibilang bukan sukses tapi lumayan. Seiring dengan berbagai kendala, kemudian juga ekonomi yang tidak menentu saat ini, saya benar-benar merasakan penurunan yang sangat drastis.”
Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), tahun 2020, UMKM memiliki kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 61,97 persen atau sekitar Rp. 8.500 triliun. Di tahun yang sama, UMKM juga menyerap 97 persen tenaga kerja. Namun, kondisi UMKM mengalami penurunan pada 2020-2021, atau saat dua tahun pertama pandemi COVID-19.
Hasil kajian Badan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Development Programme/UNDP) dan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), pada saat itu menunjukkan terdapat lebih dari 48 persen UMKM menghadapi masalah bahan baku, 77 persen kehilangan pendapatan, 88 persen UMKM kehilangan permintaan produk, dan bahkan 97 persen UMKM kehilangan nilai aset.
Pakar ekonomi dari Fakultas Bisnis, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Wahyudi Wibowo, mengatakan kondisi ekonomi yang terus menurun ini tidak hanya terjadi tahun ini, tapi telah berlangsung beberapa tahun sebelumnya.
BACA JUGA: Pemerintah Berencana Kenakan Bea Masuk pada Impor Pakaian dan KeramikMenurut Wahyudi, ini akibat masuknya produk impor yang mengganggu keberadaan produk dalam negeri, khususnya yang dihasilkan oleh UMKM lokal.
“Sudah beberapa tahun yang lalu, yakni ketika produk-produk impor itu banyak masuk di Indonesia. Dan produk impor ini kan kita tahu bukan hanya produk-produk bahan baku, atau bahan setengah jadi, bahkan juga banyak yang produk fesyen, produk makanan, produk kerajinan yang jadi, produk jadi, dan memang lebih murah, lebih kompetitif. Sebagaimana kalau kita lihat misalnya itu di e-commerce, nah itu yang saya kira juga banyak mengganggu perkembangan UMKM di kita.”
Tidak hanya saat pandemi, penurunan daya beli juga masih dirasakan hingga 2024 ini. Kelompok menengah ke bawah melakukan aksi menunda konsumsi sampai kondisi ekonomi lebih stabil.
Wibowo menjelaskan ada sebagian masyarakat yang masuk kelompok menengah banyak yang menunda pembelian akibat inflasi. Padahal, katanya, daya beli kelompok ini diharapkan dapat menopang konsumsi nasional.
“Jadi, pertumbuhan pendapatan individual itu tidak mencukupi dibanding dengan inflasi. Jadi, memang kondisi ekonomi hari ini masih belum banyak memberikan prospek baik, sehingga dengan demikian masyarakat khususnya kelas menengah itu wait-and-see dulu," papar Wibowo
Wahyudi menambahkan, perlu adanya intervensi pemerintah kepada sektor UMKM dalam negeri, agar tetap bertahan menghadapi krisis ekonomi dampak dari resesi global. Salah satunya dengan memberi bantuan kredit murah untuk usaha, membuka pasar baru, dan membuka kemitraan antara perusahaan besar dengan UMKM lokal.
Kepala Dinas Koperasi UKM dan Perdagangan Kota Surabaya, Dewi Suryowati, menegaskan komitmen pemerintah daerah untuk membantu semua sektor ekonomi di Surabaya, termasuk UMKM. Berbagai program telah disiapkan, mulai program padat karya, pendanaan untuk toko kelontong, hingga penyediaan platform penjualan online E-PEKEN milik pemerintah kota.
“Kalau kita sih di Surabaya, untuk ekonomi ke bawah ini kan kita bantu semuanya, apalagi di Surabaya juga ada program padat karya, seperti ini kan sebenarnya kita mengutamakan untuk kelas menengah ke bawah ini supaya semuanya tetap bisa beraktivitas," kata Dewi.
Dewi menambahkan Pemkot Surabaya juga membantu pendanaan toko kelontong untuk berbelanja di aplikasi E-PEKEN.
Your browser doesn’t support HTML5
Saat ini terdapat sekitar 150.000 UMKM di Surabaya, dengan 50.000 diantaranya merupakan UMKM makanan dan minuman. Dewi menyebut penurunan pendapatan di sektor UMKM bukan karena sepinya pembeli. Namun adanya peralihan pembeli secara langsung ke platform online.
Pemerintah Kota Surabaya, kata Dewi, terus melakukan pendampingan dan memberikan pelatihan pemasaran secara online, agar UMKM lokal terus dapat bergeliat di tengah kondisi ekonomi yang belum stabil.
“Bukan mereka menahan untuk membeli ya, karena kan semuanya sekarang ketika itu sepi bukan berarti mereka tidak ada yang beli, karena semua sekarang online. Nah, bagaimana kita memberikan pelatihan kepada UKM-UKM kita ini, online itu seperti apa, karena ketika kita juga mencoba pendampingan pada mereka, banyak mereka juga yang belum paham," kata Dewi. [pr/ab]