Gerakan Hak-hak Sipil di AS Berhasil karena Strategi Non-Kekerasan

  • Chris Simkins

Prasasti peringatan untuk Martin Luther King, Jr. di Washington D.C.

Gerakan non-kekerasan Pendeta Martin Luther King diilhami oleh ajaran pemimpin India Mahatma Gandhi. Di seluruh wilayah bagian selatan Amerika, Dr. King menyoroti sikap prasangka.

Ia mengatakan, "Mississippi adalah negara bagian yang terus menerus menolak gerakan apapun untuk membebaskan diri dari rasialisme.”

Dengan pimpinan Dr. King jutaan warga kulit hitam turun ke jalan-jalan untuk melakukan protes damai serta aksi ‘ketidakpatuhan sipil’ dan boikot ekonomi.

Pendeta Bernice King mengatakan ayahnya memahami pendekatan tanpa kekerasan sangat penting. “Darah yang tumpah sangat minim dibandingkan dengan apa yang akan terjadi jika ayah tidak membuat pengikutnya menganut falsafah non-kekerasan,” ujarnya.

Gerakan non-kekerasan mendapat ujian di tempat-tempat seperti Birmingham, Alabama. William Bell, walikota yang kini menjabat di kota itu mengatakan, "Selama periode waktu itu ada orang yang dibunuh, rumah-rumah yang dibom, gereja-gereja yang dibom dan ada perasaan bahwa kejahatan akan menang.”

Pada tahun 1965, demonstrasi untuk menuntut hak pilih di Selma, Alabama masuk dalam catatan sejarah sebagai “Minggu Berdarah.” Anggota Kongres John Lewis ikut memimpin demonstrasi itu.

Mengenai tanggapan aparat terhadap demonstrasi itu dia mengatakan, “Mereka datang ke arah kami, memukuli kami dengan tongkat, menabrak kami dengan kuda, dan menembakkan gas air mata. Saya dipukul di kepala dengan tingkat oleh polisi negara bagian. Saya menderita gegar otak dan tergeletak di jembatan dan saya kira saya akan mati.”

Di Birmingham foto-foto polisi yang menggunakan anjing penyerang dan selang air untuk membubarkan demonstrasi anak-anak sekolah disiarkan ke seluruh dunia. Mengenai dampak dari foto-foto itu, pengacara Richard Cohen dari lembaga bantuan hukum Southern Poverty Law Center mengatakan, “Kekerasan dilakukan oleh para penindas, bukan oleh orang-orang yang tertindas dan itu merupakan pesan yang sangat kuat dan alat yang sangat penting dalam gerakan itu.”

Pada bulan Agustus 1963 ribuan warga kulit hitam dan kulit putih berkumpul untuk berdemonstrasi di Washington, D.C. Demonstrasi itu berlangsung damai dan tidak terjadi penangkapan.

Sebagian pemimpin menggambarkan gerakan menuntut hak-hak sipil tanpa kekerasan itu sebagai perang saudara kedua di Amerika. Ben Jealous, Presiden Asosiasi Nasional untuk Kemajuan Orang Kulit Berwarna (NAACP), lembaga advokasi hak-hak sipil tertua di Amerika mengatakan kampanye non-kekerasan itu memenangkan hati dan pikiran rakyat Amerika.

Para sejarawan mengatakan meskipun menghadapi berbagai tantangan, gerakan non-kekerasan membuahkan hasil yang abadi ke arah terjaminnya kesetaraan hak dan kebebasan bagi seluruh rakyat Amerika. [lt/jm]