Tak sedikit dari kita yang terganggu ketika melihat postingan dari teman atau saudara yang tidak sependapat. Postingan agama atau politik, misalnya, sering menimbulkan debat kusir yang merusak tali silaturahmi. Feby Indirani, penulis sejumlah buku, menggambarkan situasinya.
"Dari pada cari ribut. Ya sudah lah nggak usah dibahas. Gue nggak mau ribut sama dia. Tapi jadinya males. Jadi menghindari percakapan karena malas. Bukan dengan pengertian kita itu berbeda nggak apa-apa. Cuma ah males ah ngomong itu sama dia," dia menceritakan.
Masyarakat Indonesia memang tengah terpolarisasi jadi dua kubu. Studi di Universitas Padjadjaran menunjukkan, pasca Pemilu 2014, pola politik aliran kembali menjadi lintasan konflik ideologis yang membelah basis massa pendukung. Perbedaan pendapat sayangnya berubah jadi saling hujat berbalut isu SARA.
Ketegangan inilah yang mendorong Feby menggagas "Relaksasi Beragama" sejak 2017. Lewat gerakan ini, dia mengajak orang berpikiran terbuka, mampu menertawakan diri sendiri, dan berempati kepada orang lain yang memiliki tafsir agama yang berbeda.
"Kadang-kadang juga sama eh gila gue nggak relaks nih, pengen marah. Ya begitu," jelas lulusan jurnalistik Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung ini.
Ketegangan inilah yang mendorong Feby menggagas "Relaksasi Beragama" sejak 2017. Lewat gerakan ini, dia mengajak orang berpikiran terbuka, mampu menertawakan diri sendiri, dan berempati kepada orang lain yang memiliki tafsir agama yang berbeda.
Gerakan Jadi Pameran
Gerakan ini diwujudkan lewat sastra dan seni bertajuk "Bukan Perawan Maria." Pada 2017, Feby menerbitkan buku dengan judul yang sama berisi kumpulan 19 cerpen. Dia menyuguhkan fenomena beragama masyarakat, seperti suara adzan yang terlalu keras atau jalanan yang ditutup ketika sholat Jumat. Feby mengaku melihat kelebihan sastra dibanding berita.
"Ketika orang publish berita, orang kan cuma baca judulnya. Orang seringkali nggak baca isinya, baca judulnya baca sekilas terus dia buat kesimpulan. Terus share, terus maki-maki atau apapun. Sementara ketika munculnya dalam bentuk cerita, dongeng, fantasi, pertama orang itu triggeredjadi dia baca dulu," jelas penerima beasiswa Chevening ini.
"Orang-orang itu komennya nggak ada yang menganggap itu penodaan. Karena baca ceritanya," paparnya.
Dari buku, jadi pameran seni. Di Bandung, Feby menggaet 7 seniman individu dan kelompok untuk merespon cerpen-cerpen dari bukunya. Manager Program Anastha Eka mengatakan seni bisa menyentuh semua kalangan.
"Orang tuh kalau misalnya kita langsung, direct, cenderung defensif. Tapi kalau seni bentuknya refleksi kan sebenarnya. Seni jadi lebih versatile untuk masuk ke berbagai lapisan, macam, tipe, maupun sifat orang," jelasnya.
Pameran yang berlangsung sampai Minggu (16/9/2018) ini menyajikan tujuh karya rupa dan gerak perempuan seniman yang berkiprah di Bandung. Karya interaktif "After 99 Names" buatan Sekar misalnya, menyediakan visual kaligrafi. Pengunjung bisa ikut menuliskan satu sifat yang merepresentasikan dirinya. Sekar ingin mengajak orang berefleksi.
"Aku pengen kayak lebih 'judge dulu diri lo sebelum judge orang lain'. Cuma nggak sampai situ karena dibatasi. Jadi soal introspeksi diri saja," papar seniman kriya ini.
Your browser doesn’t support HTML5
Sementara karya instalasi "Ruang Tunggu" dari Maradita Sutantio menampilkan ruang kecil yang dibatasi tirai dan diterangi lampu. Ditambah suara latar detak jantung dan detik jam. Ini merespon cerpen mengenai ruang sebelum alam akhirat.
Sundea, kurator pameran ini, mengajak pengunjung melihat pengalaman spiritual di diri masing-masing
"Ketika orang paham apa yang di dalam diri dia sendiri, dia sebenernya nggak perlu mempermasalahkan orang lain ketika berbeda. Terus dia mendengar detak, dan tahu bagaimana merespon detik yang disepakati bersama," pungkasnya.
Feby, penulis juga penggagas pameran ini, berharap sastra dan seni bisa membantu masyarakat lebih relaks dalam beragama. [rt/em]