Kepala Biro Perempuan dan Anak, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Sonnya M. Uniplaita menceritakan kembali sebuah kisah kekerasan yang menimpa seorang pendeta di waktu lalu. Dia memaparkan seorang pendeta perempuan di salah satu jemaat menjadi korban kekerasan dari suaminya sendiri karena dinilai menghabiskan terlalu lama dalam pelayanan.
Tamparan dan tarikan harus dia alami di depan umat yang dia layani, tanpa ada seorangpun yang berani bertindak. Bahkan, tidak ada tindak lanjut dari lembaga keagamaan untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
“Nah, ini yang kemudian kita dari PGI, coba mendorong, bahwa persoalan-persoalan ini bukan lagi persoalan di luar gereja. Persoalan ini ada di dalam gereja. Jadi, bagaimana gereja bisa berperan, berdiri, menjadi rumah yang aman, menjadi tempat yang aman untuk setiap umatnya,” kata Sonnya.
Sonnya menyampaikan itu dalam diskusi terkait KDRT dan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, Selasa (21/2). Diskusi diselenggarakan oleh Persatuan Wanita Kristen Indonesia (PWKI) untuk memperingati ulang tahun organisasi ini ke-77.
Ruang Aman di Gereja
Karena itulah, Sonnya berpendapat sudah saatnya gereja memiliki ruang yang aman bagi korban kekerasan, termasuk kekerasan seksual, untuk berbicara. Bukan sesuatu yang asing, ada banyak cerita tentang pelecehan yang terjadi dalam kegiatan-kegiatan gerejawi. Seorang pendeta, lanjut Sonnya, juga pernah mengusulkan adanya ruang aman semacam itu yang semakin penting karena adanya relasi kuasa kuat di gereja.
“Cobalah di setiap kegiatan-kegiatan gerejawi seperti ini, kita bikin suatu tempat khusus, satu ruang yang aman, sehingga siapapun bisa datang dan bercerita dengan tanpa takut atau tanpa terintimidasi oleh relasi kekuasaan itu,”
Sonnya juga mengatakan, “Dan saya pikir ini adalah hal yang baik. Kita mencoba mendorong gereja-gereja untuk bisa menyediakan itu. Dan tentu ini bukan hal yang mudah karena harus mendobrak pola pikir. Tapi kalau tidak dimulai dari sekarang, maka situasinya akan terus ada, dan semakin banyak cerita yang tidak pernah terungkap.”
Berbicara mewakil PGI, Sonnya menegaskan dalam angka-angka jumlah korban kekerasan secara nasional, jemaat gereja ada di dalamnya. Karena itulah semua gereja harus terbuka dan melihat ini sebagai persoalan yang juga harus ikut diselesaikan oleh gereja.
Data di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menggambarkan pendampingan pemuka agama terhadap persoalan-persoalan masyarakat, khususnya perempuan dan anak sebagai korban kekerasan, masih sangat kecil.
“Ini menjadi barometer, bahwa gereja masih melihat kekerasan yang terjadi ini bukanlah menjadi tanggung jawab gereja. Bukan menjadi tanggung jawab pemuka agama, tetapi menjadi tanggung jawab pemerintah. Ini yang kemudian menjadi persoalan,” tegasnya.
BACA JUGA: Relasi Kuasa Hierarkis dan Kasus Kekerasan Seksual di Gereja KatolikLebih Sulit Diselesaikan
Menanggapi hal itu, Ketua Umum Gereja Protestan di Indonesia (GPI), Pdt. DR. Liesje Sumampouw memandang penting upaya memutus mata rantai kekerasan seksual. Di lingkungan keagamaan, katanya, tokoh agama berperan strategis.
“Siapa yang memutus mata rantai itu? Siapa ujung tombaknya? Hemat saya, itu adalah pimpinan agama atau notabene kita katakan pendeta, kita katakan sebagai ustad dan sebagainya,” ujarnya.
Karena itulah, akan menjadi sangat memprihatinkan jika pemimpin agama menjadi pelaku dari tindak kekerasan seksual itu sendiri.
Your browser doesn’t support HTML5
“Padahal pimpinan agama itu ada pada tataran yang sebetulnya menjadi tempat mereka berlindung. Tapi justru mereka menjadi pelaku. Dan kebanyakan mereka tidak tersentuh oleh pastoral counseling. Justru mereka kadang menjadi kebal terhadap pastoral couseling, karena dianggap bahwa mereka bisa segalanya, dan semua mengikuti mereka,” tambah Liesje.
Sebagai akademisi, Liesje mengaku telah menjadikan isu ini sebagai bahan penelitian setidaknya selama sepuluh tahun.
Dia mengingatkan, salah satu sikap yang melestarikan tindak kekerasan di lingkup keagamaan adalah budaya patuh. Budaya itu dibentuk sejak generasi ke generasi di tengah keluarga. Karena itulah, salah satu kunci menyelesaikan lingkaran kekerasan ini adalah memperbaiki pendidikan di tingkat keluarga agar membudayakan nilai kejujuran dan keterbukaan.
Selain itu, Liesje juga mendorong PWKI mendirikan peer group untuk pastoral counseling. Peer group ini, kata dia, akan menjadi tempat terbuka bagi jemaat untuk datang dan berbagi cerita kekerasan yang dialaminya.
“Saya bukan men-deny pimpinan-pimpinan agama. Tapi paling tidak, ada gap antara pimpinan agama dengan masyarakat atau dengan umat dengan jemaat. Gap itu kadang-kadang diperlebar oleh perilaku pemimpin agama yang tidak bisa dijadikan panutan,” kata Liesje.
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriayni setuju bahwa penyelesaian kasus kekerasan di lingkungan keagamaan lebih sulit diselesaikan.
“Apalagi kalau dia adalah tokoh masyarakat, termasuk kalau dia adalah ibu pendeta. Kalau sudah ibu pendeta mengalami kekerasan dalam rumah tangga, wah itu lebih rumit lagi,” ujarnya.
“Kami mendapatkan juga beberapa kisah, dia tidak dilaporkan secara langsung, tapi diceritakan. Betapa sulitnya para perempuan yang menjadi pemuka agama ketika juga menghadapi isu kekerasan rumah tangga di dalam rumah tangganya sendiri,” tambah Andy.
Karena itulah, seperti juga pendapat pembicara lain, Andy setuju terhadap peran penting ruang aman bagi perempuan. “Untuk menceritakan kasusnya, dan juga memberikan dukungan untuk pemulihan, memberikan dukungan untuk bisa mencari atau menemukenali solusi-solusi yang mungkin diambil,” ujarnya beralasan.
Angka Terus Dominan
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA Ratna Susianawati menyebut kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan seksual terus dominan di Indonesia.
“Sepanjang tahun 2022, untuk kekerasan terhadap perempuan masih didominasi dengan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga sebanyak 47,52 persen dan untuk kasus kekerasan terhadap anak, didominasi kasus kekerasan seksual, yaitu sebanyak 70,9 persen,” ujarnya.
Sementara Ai Maryati Solihah, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), menyebut dua persoalan selalu dominan menjadikan anak sebagai korban.
“Setidaknya di lima tahun terakhir, anak korban kejahatan seksual, kemudian anak korban kekerasan fisik, itu selalu menjadi posisi atau atau dua,” ujarnya.
Data KPAI mencatat jumlah anak korban kekerasan fisik dan atau psikis pada 2021 adalah 1.138 anak dan turun menjadi 502 anak pada 2022. Sedangkan anak korban kejahatan seksual pada 2021 tercatat 859 anak dan pada 2022 menjadi 834 anak. [ns/ab]