Gita Wirjawan: Negara Asia Tenggara Cinta Damai Dibandingkan Eropa

Seorang aktivis perempuan membawa poster saat demo di Jakarta, 10 Desember 2019. (Foto: AFP)

Ketua Dewan Penasehat School Government of Public Policy (SGPP) Indonesia Gita Wirjawan menyebut jumlah kematian akibat konflik di Asia Tenggara berkisar 50 juta orang dalam 2000 tahun terakhir.

Ketua Dewan Penasehat SGPP Indonesia menilai penanganan konflik di negara-negara Asia Tenggara lebih moderat dan cinta damai dibandingkan dengan negara di Eropa. Kata dia, itu terlihat dari jumlah orang yang meninggal akibat konflik di Asia Tenggara sebanyak 50 juta orang dalam 2000 tahun terakhir. Sedangkan di Eropa mencapai lebih dari 120 juta orang pada perang dunia kesatu dan kedua. Hal ini disampaikan Gita untuk menjawab pertanyaan rekonsiliasi konflik di Indonesia seperti Kejahatan HAM masa lalu yang terjadi pada tahun 1965.

"Jadi sangat penting untuk kita mengingat bahwa Indonesia termasuk salah satu negara yang sangat cinta damai dan toleran," ujar Gita, Selasa (12/3), saat memberikan kuliah mengenai "Armed Conflict in International Stage and Conflict Resolution".

Dengan fakta tersebut, Gita meyakini rekonsiliasi masyarakat terkait peristiwa 1965 dapat dilakukan. Ditambah lagi, Indonesia sudah memiliki modal solusi untuk konflik yaitu kesetaraan dan kesejahteraan. Ini terlihat dari kondisi ekonomi dan politik di wilayah Indonesia baik di Jawa maupun Papua.

Kelompok Front Pancasila membakar lambang PKI di halaman Ismail Marzuki, sebagai bentuk penolakan simposium bertajuk "Membedah Tragedi 1965"

"Jadi untuk kasus tahun 1965, saya pikir jalan paling mudah untuk melihatnya adalah bagaimana caranya supaya kita bisa bangkit dari kejadian tersebut supaya kita bisa mencapai kesetaraan dan bagaimana caranya supaya masyarakat kita menjadi semakin teredukasi," tambahnya.

"Kita tahu faktanya bahwa daerah-daerah paling terpencil di Indonesia di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Fores, Papua punya kebebasan ekonomi, kebebasan politik yang sama seperti kita. Saya tidak akan khawatir terhadap masa depan."

Your browser doesn’t support HTML5

Gita Wirjawan: Negara Asia Tenggara Cinta Damai Dibandingkan Eropa

Secara umum, Gita menjelaskan resolusi konflik dapat dimulai dengan menunjuk mediator untuk menjembatani para pihak dalam membuat perjanjian damai. Selain itu, aktor yang terlibat dalam penyelesaian konflik harus memiliki empati kepada kedua pihak yang berkonflik.

"Jika sudah terlambat dan Anda terlibat resolusi konflik, Anda harus memiliki pembicara yang tepat. Anda memerlukan aktor yang tepat untuk dapat mengidentifikasi masalah dan dapat menunjukkan empati karena konflik sudah terlanjur terjadi," tambah Gita.

Ketua Dewan Penasehat School Government of Public Policy (SGPP) Indonesia Gita Wirjawan. (Foto: Sasmito/screenshot)

Dihubungi VOA untuk menanggapi hal itu, aktivis HAM Nursyahbani Katjasungkana menunggu keseriusan pemerintah untuk melakukan rekonsiliasi kasus pelanggaran HAM berat masa lalu 1965. Salah satunya dengan menuntaskan pembahasan rancangan undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR). Kendati demikian, RUU KKR ini tidak masuk dalam prolegnas 2020.

"Tapi apapun nanti bentuknya UU KKR itu harus memenuhi syarat apa yang sudah ditetapkan para ahli di UN tentang keadilan transisi itu ada 4 syaratnya. Pertama harus menggali kebenaran dan fakta-faktanya," jelas Nusyahbani Katjasungkana.

Tiga syarat lainnya yaitu penegakan keadilan, reparasi korban dan menciptakan situasi yang kondusif untuk pelaksanaan HAM. Menurut Nusjahbani, reparasi korban tidak harus berbentuk uang, namun bisa juga dalam bentuk pemulihan nama baik dan pemulihan trauma korban.

BACA JUGA: KontraS Berharap Jokowi Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM Berat di Periode Kedua

Ia setuju dengan Gita, bahwa kejahatan HAM berat masa lalu 1965 ini harus segera dituntaskan. Sebab International People’s Tribunal atau pengadilan internasional rakyat tentang kejahatan HAM 1965 yang digelar tahun 2015, juga telah memutuskan terjadinya kejahatan kemanusiaan dan genosida dalam peristiwa tersebut.

"Mesti serius dan jangan jadi mainan politik. Nanti ditekan-tekan sedikit oleh kelompok garis keras, lalu bubar lagi," tambahnya.

Jumlah pasti korban pembantaian dalam peristiwa 1965 hingga sekarang masih simpang siur. Namun, sejumlah kalangan menyebut setidaknya ada 500 ribu orang yang tewas pada masa itu.

BACA JUGA: Korban Pelanggaran HAM Desak Penuntasan Kasus Lewat Jalur Pengadilan

Dari sisi bukti, Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 (YPKP 65) menemukan 346 lokasi kuburan massal korban kasus 1965 di berbagai daerah di Indonesia. Di Provinsi Jawa Tengah ditemukan 119 lokasi, sembilan lokasi di Yogyakarta, 116 lokasi di Jawa Timur, tujuh lokasi di Jawa Barat, dan satu lokasi di Banten.

Sedangkan di Sumatera terdapat tujuh lokasi di Aceh, 17 lokasi di Sumatera Utara, 22 lokasi di Sumatera Barat, enam lokasi di Riau dan Kepulauan Riau, dua lokasi di Sumatera Selatan, dan delapan lokasi di Lampung. Di Bali ada 11 lokasi, satu lokasi di Kalimantan Timur, satu lokasi di Kalimantan Tengah, sembilan lokasi di Sulawesi, dan 10 lokasi di Nusa Tenggara Timur.

Temuan tersebut telah dilaporkan YPKP 65 ke Komnas HAM pada Oktober tahun lalu. YPKP 65 juga menyerahkan sejumlah dokumen pendukung untuk memperkuat rekomendasi tim penyelidik pro yustisia kasus ini. YPKP 65 berharap temuan ini dapat menjadi bukti untuk memperkuat rekomendasi Komnas HAM kepada Kejaksaan Agung untuk mengungkap dan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu 1965. [sm/em]