Organisasi lingkungan Greenpeace menyatakan berdasarkan investigasi pihaknya setidaknya terdapat 4,4 juta hektar hutan dan lahan di Indonesia yang terbakar dalam kurun waktu 2015 hingga 2019. Dari jumlah tersebut, 3,65 juta hektar merupakan kebakaran di lokasi yang baru, sebagai indikasi adanya ekspansi perkebunan. Sedangkan 1,3 juta hektar atau sekitar 30 persen berada di konsesi kelapa sawit dan bubur kertas. Selain itu, 500 ribu hektar areal yang terbakar di tahun 2015 telah terbakar lagi di tahun 2019.
Kiki Taufik, Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Asia Tenggara, mengatakan delapan dari 10 perusahaan kelapa sawit dengan area lahan terbakar terbesar dari 2015 hingga 2019, belum menerima sanksi apapun berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 15 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pelepasan atau pembatalan Hak Guna Usaha atau Hak Pakai pada lahan yang terbakar.
“Apabila kurang dari, atau sama dengan 50 persen dari luas lahan Hak Guna Usaha atau Hak Pakai, maka Hak Guna Usaha atau Pak Pakai dilepaskan oleh pemegang Hak Guna Usaha atau Hak Pakai, atau dibatalkan seluas lahan yang terbakar," jelas Kiki Taufik dalam sebuah keterangan pers secara virtual Kamis (22/10).
Aturan yang sama juga menetapkan pada lahan yang terbakar lebih dari 50 persen, maka pemegang Hak Guna Usaha atau Hak Pakai harus membayar melalui kas negara ganti kerugian sebesar Rp 1 miliar per hektar lahan yang terbakar, atau dibatalkan seluruh Hak Guna Usaha dan Hak Pakainya. Luas lahan yang terbakar di konsesi kelapa sawit pada 2015 hingga 2019 mencapai 621.524 hektar.
Kebakaran lahan lain juga terjadi di konsesi perusahaan bubur kertas yang dalam rentang 2015-2019 mencapai 679.328 hektar.
Greenpeace menyebutkan 10 perusahaan bubur kertas dengan luas area terbakar terbesar memiliki kebakaran berulang di konsesi mereka.
Rusmadya Maharuddin, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, menilai berulangnya kasus kebakaran lahan tersebut terjadi karena sanksi kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) belum memberikan efek jera. Dia menyebutkan kebakaran lahan dan hutan yang berulang pada periode 2015-2019 justru terjadi di area konsesi perusahaan yang sebelumnya telah mendapat sanksi administrasi berupa pembekuan izin pada 2015.
“Seperti kita ambil sampel PT WAJ dan PT BMJ, ini berulang tiga kali terbakar di tahun berikutnya. Nah, ini menggambarkan setiap sanksi yang diberikan kepada perusahaan tidak menjamin bahwa perusahaan ini akan jera sehingga berhasil menghentikan karhutla dari konsesi mereka," jelas Rusmadya.
"Nah ini terbukti setiap tahun mereka mendapat sanksi dari pemerintah, tapi mereka tidak jera dengan sanksi yang diberikan," tegasnya.
Dia menambahkan, dalam lima tahun terakhir terdapat tiga perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan satu perusahaan kelapa sawit yang dicabut izinnya. Namun, keempat perusahaan yang masing-masing berada di Riau, Kalimantan Barat, Jambi dan Kalimantan Tengah, itu tidak termasuk dalam 10 peringkat teratas kasus kebakaran hutan dan lahan terluas dalam rentang 2015-2019.
BACA JUGA: Aktivis, Investor Sebut UU Cipta Kerja Bahayakan LingkunganGreenpeace menilai UU Cipta Kerja yang baru-baru disahkan oleh DPR RI berpotensi tidak dapat menghentikan kebakaran hutan dan lahan di tahun-tahun mendatang. Omnibus Law -yang disebut Greenpeace sebagai hadiah impunitas bagi pembakar di sektor perkebunan besar- itu telah melemahkan aturan-aturan sebelumnya. Sebagai contoh, perubahan Pasal 88 Undang-Undang 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan perubahan pada pasal 49 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Potensi konflik kepentingan dalam undang-undang itu juga berpeluang terjadi karena ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) menjadi anggota Satgas Omnibus Law.
“Kita tahu tiga ketua dari GAPKI, APHI dan APKI itu merupakan anggota dari Satgas Omnibus Law. Nah, apa kaitannya dengan isu kebakaran hutan dan lahan, kita lihat empat perusahaan yang paling luas terbakar tadi itu adalah anggota dari GAPKI. Kemudian delapan dari perusahaan yang paling luas terbakar itu adalah anggota APHI," kata Rusmadya.
"Jadi kita indikasikan dengan bergabungnya ketua GAPKI, APHI dan juga APKI dalam tim penyusunan Undang-undang Omnibus Law, berpotensi menimbulkan konflik kepentingan sehingga kita melihat ada pasal-pasal yang melemahkan penegakan hukum dalam kasus kebakaran hutan dan lahan," tambahnya.
Greenpeace menyampaikan tujuh rekomendasi untuk mencegah berulangnya kasus kebakaran hutan dan lahan. Rekomendasi itu di antaranya adalah pemerintah harus memperkuat upaya penegakan hukum dengan melakukan koordinasi antar institusi negara yang memiliki kewenangan untuk menegakkan hukum terhadap perusahaan-perusahaan dan menjatuhkan sanksi seberat-beratnya.
Pemerintah juga harus mencabut pasal-pasal yang diperdebatkan di UU Omnibus yang berpotensi melemahkan penegakan hukum atas kasus kebakaran hutan dan juga memberikan impunitas lebih kepada perusahaan-perusahaan yang tidak patuh. Greenpeace juga merekomendasikan perusahaan-perusahaan kelapa sawit dan bubur kertas agar segera menghentikan penggunaan api dalam praktik-praktik pengelolaan lahan.
Greenpeace dalam laporan yang dirilis 22 Oktober 2020 berjudul "Karhutla Dalam Lima Tahun Terakhir: Omnibus Law Hadiah Impunitas Bagi Pembakar di Sektor Perkebunan Besar", menyimpulkan kegagalan pemerintah dalam memaksa perusahaan-perusahaan untuk bertanggung jawab atas kebakaran di konsesi mereka dan mengumpulkan denda dari mereka, bertolak belakang dengan narasi yang sedang didorong Indonesia ke tengah masyarakat global. Narasi tersebut adalah bagaimana Indonesia telah berhasil menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, dan oleh karena itu berhak menerima pembayaran dari negara maju di dalam sebuah skema bernama REDD+.
Your browser doesn’t support HTML5
Di dalam REDD+, negara-negara dengan luas hutan lebat, seperti Brazil dan Indonesia, dapat meminta pembayaran dari negera lain atau organisasi-organisasi seperti Green Climate Fund (GCF) apabila mereka dapat membuktikan telah berhasil mengurangi emisi dengan melindungi hutan dari deforestasi dan degradasi.
Proposal Indonesia pada tahun ini telah disetujui oleh GCF dan Norwegia. GCF setuju untuk membayar $ 103,8 juta (Rp 1,52 triliun), sedangkan Norwegia akan membayar $ 56 juta. Uang ini akan digunakan untuk upaya konservasi hutan dan program pemberdayaan masyarakat.
Keputusan-keputusan ini telah dikritik secara luas karena meski uang pajak dari negara-negara lain digunakan untuk melindungi hutan Indonesia, pemerintah dianggap gagal dalam memaksa perusahaan-perusahaan yang bertanggung jawab atas kebakaran hutan dan emisi dalam jumlah besar yang dihasilkan dari kebakaran tersebut, untuk membayar kesalahan mereka.
Merujuk beberapa penelitian, Greenpeace mengatakan kualitas udara di Palangka Raya, salah satu kota di Indonesia yang paling terdampak kabut asap 2015, mungkin adalah kualitas udara terburuk yang terjadi berkepanjangan yang pernah tercatat di seluruh dunia. Namun, di saat kebakaran terus meluluhlantakkan hutan dan lahan Indonesia, pemerintah telah meremehkan dampak kebakaran tersebut terhadap kesehatan manusia.
Walaupun menurut data resmi pemerintah, jumlah korban jiwa dari kebakaran hutan dan lahan di 2015 adalah 24 orang. Namun, para pakar epidemiologi memperkirakan puluhan ribu orang meninggal secara prematur sebagai dampak kesehatan dari kebakaran tersebut. Tak hanya itu, puluhan juta orang juga terpapar asap beracun akibat dari kebakaran hutan.
Selama perusahaan-perusahaan dengan kebakaran di konsensi mereka dibiarkan untuk terus beroperasi seperti biasa -dengan sedikit atau tanpa akibat hukum-, maka isu kebakaran hutan tidak akan hilang di masa yang akan datang. [yl/em/ah]