Rusia kembali menggunakan perannya sebagai pemasok utama gas alam di Eropa untuk menekan Ukraina dan Barat. Sejauh mana pengaruh Rusia dalam menggunakan ekspor energi untuk mencapai tujuan diplomatik dan geopolitik di Eropa?
LONDON —
Eropa mendapat sekitar 30 persen gas dari Rusia, setengahnya melintasi Ukraina.
Viktor Yanukovych, yang kini mantan presiden Ukraina, bertemu kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Catherine Ashton Desember lalu ketika ia diperkirakan menandatangani perjanjian penting perdagangan dan politik dengan Uni Eropa.
Tetapi, mengejutkan banyak orang Ukraina, Yanukovych menolak tawaran kesepakatan itu atas saran Presiden Rusia Vladimir Putin, yang membujuk Yanukovich dengan janji gas murah.
Karena Ukraina menggunakan sejumlah besar gas Rusia setiap tahun, bujukan itu menarik Yanukovych.
Tetapi, sejak Yanukovych digulingkan dalam protes besar-besaran Februari lalu, gas Rusia kini lebih berperan sebagai hukuman dari pada bujukan.
Awal bulan ini, Alexei Miller, kepala eksekutif perusahaan gas raksasa Rusia, Gazprom, setuju dengan Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev untuk menaikkan harga gas yang dijual ke Ukraina, sebesar 44 persen.
Dengan kenaikan harga itu, Ukraina kini berutang 2,2 milyar dolar kepada Gazprom. Kalau Ukraina terus menunggak - dan tanpa bantuan pihak luar, negara itu tidak mampu membayar utang - Gazprom bisa memutus aliran gasnya.
Itu berita yang berpotensi buruk bagi Eropa, menurut Antony Froggatt, peneliti senior pada Chatham House. Ia mengatakan, Rusia mungkin akan terus menggunakan gas sebagai alat politik.
"Ekonomi Rusia sangat bergantung pada energi. Jadi, jika tidak lagi melihat potensi dan keuntungan ekonomi dalam pasokan gas yang lebih murah ke Ukraina, maka Rusia akan menaikkan harga. Dan, selalu kenaikan harga yang kita lihat di Eropa dalam beberapa bulan ini,” kata Froggatt.
Tetapi kali ini, ancaman itu tidak seseram kala terjadi sengketa harga dalam musim dingin tahun 2006 dan 2009. Negara-negara Eropa sejak itu mempunyai cara lain dalam memenuhi kebutuhan energi mereka dan tidak akan bergantung pada gas Rusia pada bulan-bulan dalam musim panas. Meski umumnya negara-negara Eropa mengisi ulang fasilitas penyimpanan mereka sekarang ini, fasilitas-fasilitas itu tampaknya berisi penuh setelah musim dingin yang tidak parah.
Rusia juga harus mempertimbangkan biaya ekonomi yang akan ditanggung dengan mengurangi ekspor gas, sumber paling penting penghasilannya. Apapun ambisi geo-politik Vladimir Putin, umumnya analis energi tampak sepakat bahwa ia akan berpikir dua kali sebelum merusak sumber penghasilan itu.
Viktor Yanukovych, yang kini mantan presiden Ukraina, bertemu kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Catherine Ashton Desember lalu ketika ia diperkirakan menandatangani perjanjian penting perdagangan dan politik dengan Uni Eropa.
Tetapi, mengejutkan banyak orang Ukraina, Yanukovych menolak tawaran kesepakatan itu atas saran Presiden Rusia Vladimir Putin, yang membujuk Yanukovich dengan janji gas murah.
Karena Ukraina menggunakan sejumlah besar gas Rusia setiap tahun, bujukan itu menarik Yanukovych.
Tetapi, sejak Yanukovych digulingkan dalam protes besar-besaran Februari lalu, gas Rusia kini lebih berperan sebagai hukuman dari pada bujukan.
Awal bulan ini, Alexei Miller, kepala eksekutif perusahaan gas raksasa Rusia, Gazprom, setuju dengan Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev untuk menaikkan harga gas yang dijual ke Ukraina, sebesar 44 persen.
Dengan kenaikan harga itu, Ukraina kini berutang 2,2 milyar dolar kepada Gazprom. Kalau Ukraina terus menunggak - dan tanpa bantuan pihak luar, negara itu tidak mampu membayar utang - Gazprom bisa memutus aliran gasnya.
Itu berita yang berpotensi buruk bagi Eropa, menurut Antony Froggatt, peneliti senior pada Chatham House. Ia mengatakan, Rusia mungkin akan terus menggunakan gas sebagai alat politik.
"Ekonomi Rusia sangat bergantung pada energi. Jadi, jika tidak lagi melihat potensi dan keuntungan ekonomi dalam pasokan gas yang lebih murah ke Ukraina, maka Rusia akan menaikkan harga. Dan, selalu kenaikan harga yang kita lihat di Eropa dalam beberapa bulan ini,” kata Froggatt.
Tetapi kali ini, ancaman itu tidak seseram kala terjadi sengketa harga dalam musim dingin tahun 2006 dan 2009. Negara-negara Eropa sejak itu mempunyai cara lain dalam memenuhi kebutuhan energi mereka dan tidak akan bergantung pada gas Rusia pada bulan-bulan dalam musim panas. Meski umumnya negara-negara Eropa mengisi ulang fasilitas penyimpanan mereka sekarang ini, fasilitas-fasilitas itu tampaknya berisi penuh setelah musim dingin yang tidak parah.
Rusia juga harus mempertimbangkan biaya ekonomi yang akan ditanggung dengan mengurangi ekspor gas, sumber paling penting penghasilannya. Apapun ambisi geo-politik Vladimir Putin, umumnya analis energi tampak sepakat bahwa ia akan berpikir dua kali sebelum merusak sumber penghasilan itu.