Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk membuka rekaman pemeriksaan Mantan Anggota Komisi pemerintahan DPR Miryam S. Haryani ketika ia diperiksa sebagai saksi kasus korupsi kartu tanda penduduk berbasis elektronik (e-KTP).
Ketika pemeriksaan itu, menurut penyidik KPK, Miryam mengaku diancam oleh lima anggota komisi III DPR yang membidangi masalah hukum agar tidak mengakui pembagian uang korupsi di DPR. Miryam diduga mencabut BAP karena ancaman itu. KPK menolak membuka rekaman sehingga angota komisi hukum DPR tersebut berencana menggulirkan hak angket.
Peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko Susanto Ginting kepada VOA, Jumat (21/4) mengatakan upaya komisi III DPR mendesak KPK agar membuka rekaman pemeriksaan terhadap Miryam merupakan bentuk intervensi tehadap proses penegakan hukum.
Miko menegaskan rekaman pemeriksaan Miryam ketika menjadi saksi kasus korupsi e-KTP adalah rahasia penyidikan. KPK, lanjutnya, tidak boleh membuka kepada siapapun karena menyangkut penyidikan suatu perkara. Rekaman tersebut, kata Miko, hanya bisa dibuka di pengadilan.
Upaya pengajuan hak angket oleh komisi III DPR merupakan langkah kontra-produktif terhadap upaya pengusutan kasus korupsi e-KTP. Penyebutan nama anggota DPR dan petinggi partai dalam kasus tersebut, tambahnya, seharusnya dikejar untuk ditelusuri kebenarannya melalui proses penegakan hukum.
Pengajuan hak angket, kata Miko, adalah proses politik yang berpotensi mengaburkan pengusutan kasus korupsi e-KTP.
Your browser doesn’t support HTML5
“Anggota DPR tidak memberikan statement apapun terkait serangan-serangan kepada KPK tetapi disisi lain anggota DPR justru menggulirkan hak angket. Ini adalah bentuk intervensi kepada penegakan hukum dan ini sikap yang kontradiktif terhadap upaya penguatan pemberantasan korupsi,” ujar Miko Susanto Ginting.
Sebelumnya penyidik utama KPK, Novel Baswedan, dalam persidangan kasus korupsi e-KTP mengungkapkan bahwa berdasarkan keterangan Miryam, para pengancam itu adalah Azis Syamsudin, Desmond Mahesa, Masinton Pasaribu, Syarifuddin Suding dan Bambang Soesatyo. Miryam mengaku diancam agar tidak mengakui pembagian uang korupsi e-KTP di DPR. Kelima orang tersebut berulang kali membantah kesaksian Novel.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyerahkan mekanisme pengajuan hak angket ke komisi III DPR.
“Saya sendiri belum mendalami karena kesibukan pilkada kemarin, apa yang menjadi isi pembicaraan komisi III dengan KPK tetapi kalau sudah sampai kesimpulan itu saya kira itu berarti kawan-kawan di komisi III menggunakan hak mereka untuk melakukan penyelidikan juga,” ujar Fadli Zon.
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Febri Diansyah menegaskan penegakan hukum tidak dapat diintervensi oleh siapapun termasuk Dewan Perwakilan Rakyat. Menurutnya rekaman pemeriksaan Miryam tidak bisa dibuka kecuali oleh pengadilan.
Febri mengatakan hak angket akan menghambat penegak hukum untuk menuntaskan kasus korupsi KTP elektronik hingga ke akarnya.
“Sebaiknya proses-proses politik apalagi yang beresiko menghambat penanganan perkara e-KTP itu sebaiknya itu dipertimbangkan kembali,” ujar Febri Diansyah.
Kasus megakorupsi kartu tanda penduduk berbasis elektronik diduga telah merugikan negara hingga Rp 2,5 triliun. Dalam surat dakwaan jaksa penuntut umum sebelumnya sejumlah nama mantan anggota DPR dan anggota DPR serta pejabat di Kementerian Dalam Negeri disebut-sebut terlibat dalam kasus korupsi ini. [fw/lt]