Perintah eksekutif Presiden AS Donald Trump untuk membatasi imigrasi ke Amerika Serikat dari tujuh negara mayoritas Muslim menyebabkan kebingungan secara luas karena pengungsi, pemegang kartu izin menetap (green card), mahasiswa dan pekerja yang memegang visa ditahan di bandar-bandar udara AS atau dilarang menaiki penerbangan internasional hari Sabtu (28/1).
Pada Sabtu malam, seorang hakim federal di New York secara sementara memblokir perintah pemerintahan Trump untuk mendeportasi orang-orang setelah mendarat di AS dengan visa yang sah.
Trump mengatakan sebelumnya hari Sabtu bahwa larangan baru terhadap orang-orang dari beberapa negara tertentu yang memasuki AS "berjalan sangat, sangat lancar. Anda lihat di bandara-bandara, Anda lihat di mana-mana."
Namun berjam-jam setelah perintah eksekutif ditandatangani, para demonstran mulai berkumpul di bandara-bandara dan para pengacara mengatakan para kliennya terjebak di luar Amerika Serikat atau ditahan di bandara-bandara AS.
Larangan itu berlaku Jumat malam, memicu ketakutan dan kebingungan sementara para petugas memikirkan bagaimana memberlakukannya.
Trump menambahkan, "Kita akan memiliki larangna yang sangat, sangat tegas dan kita akan melakukan pemeriksaan ekstrem, yang seharusnya ada di negara ini selama bertahun-tahun."
"Pemeriksaan ekstrem" yang dimaksud Trump adalah rencananya untuk secara berhati-hati memeriksa Muslim dan orang-orang lain yang dianggap sebagai kemungkinan ancaman untuk Amerika Serikat sebelum mengizinkan mereka memasuki negara.
TONTON: Trump: 'Ini bukan larangan terhadap Muslim'
Your browser doesn’t support HTML5
Sementara itu, larangan tersebut menghadapi gugatan hukum pertamanya, sebuah tantangan legal dari dua laki-laki yang ditahan di bandara John F. Kennedy di kota New York. Serikat Kemerdekaan Sipil Amerika (ACLU) memimpin gugatan hukum itu, didukung oleh kelompok-kelompok advokasi lainnya.
Pada Sabtu malam, ribuan demonstran telah berkumpul di bandara-bandara di kota-kota besar untuk memprotes perintah eksekutif itu, menambah kebingungan yang ada.
Membela Larangan
Ketua DPR AS Paul Ryan, yang seperti Trump juga berasal dari Partai Republik, membela larangan itu dalam sebuah pernyataan yang disampaikan asistennya hari Jumat.
"Ini bukan ujian agama dan bukan larangan terhadap orang-orang dari agama apa pun," ujar juru bicara Ryan, AshLee Strong.
Senator Ben Sasse dari Partai Republik memuji perintah Trump karena fokus pada perlindungan batas-batas negara, tapi ia menambahkan bahwa perintah itu "terlalu luas."
Namun sejumlah anggota Republik lainnya berbicara melawan larangan tersebut. Legislator Charlie Dent mengatakan sejumlah besar populasi Suriah adalah konstituennya di daerah metropolitan Allentown, Pennsylvania.
Dent mengatakan ia dihubungi pada Sabtu pagi oleh seorang konstituen yang enam anggota keluarganya, yang memiliki visa dan baru-baru ini membeli rumah di Pennsylvania, ditolak masuk di bandar udara internasional Philadelphia, hanya beberapa jam setelah tiba di negara itu dengan penerbangan Qatar Airways.
"Ini konyol," kata Dent. "Saya kira saya paham niat [Trump], tapi sayangnya perintah itu terlalu buru-buru tanpa ada pertimbangan penuh."
Senator Republik lainnya, Brian Zchwartz dari Hawaii menulis di Twitter: "Memalukan. Memalukan. Memalukan. Saya merasa muak."
Senator Dianne Feinstein dari Partai Demokrat mengatakan kepada wartawan bahwa larangan itu "tindakan yang sulit dipercaya."
The Los Angeles Times melaporkan Sabtu bahwa sedikitnya 10 sampai 15 pengacara telah berkumpul di bandar udara internasional Los Angeles, salah satu bandara terbesar di negara itu, untuk membantu para pelancong yang telah ditahan. Harian itu menyebutkan bahwa sebagian besar orang yang ditahan adalah dari Irak dan Iran.
Para petugas federal tidak mengizinkan anggota keluarga atau pengacara mengontak orang-orang yang ditahan, sehingga rincian peristiwanya masih belum jelas.
Seorang pengacara imigrasi, Jordan Cunnings, mengatakan kepada surat kabar tersebut bahwa salah satu yang ditahan adalah seorang ibu muda dari Iran yang memegang kartu izin kerja legal di AS selama lima tahun dan dijadwalkan untuk mengambil sumpah kewarganegaraan dalam dua minggu. Cunnings mengatakan perempuan itu bepergian bersama bayinya yang berusia 11 bulan, seorang warga Amerika Serikat.
Para pengungsi Somalia yang telah menunggu pemukiman di AS selama bertahun-tahun mengatakan kepada VOA Somalia bahwa penerbangan mereka ke AS dibatalkan oleh perintah eksekutif itu.
"Kami datang dari [kamp pengungsi] Dadaab dan telah tinggal di kompleks PBB di Nairobi [Kenya] selama berhari-hari, untuk persiapan penerbangan kami ke AS pada 31 Januari," ujar Farah Mahad Bille kepada VOA, Sabtu.
"Kami diberitahu pagi ini bahwa kami akan kembali ke kamp karena perintah presiden AS. Harapan kami hancur berantakan."
Farhan Sulub, warga AS keturunan Somalia yang telah tinggal di Amerika selama 10 tahun terakhir, mengatakan kepada VOA istrinya ditolak masuk Amerika dari bandara Washington, DC, meskipun anak-anaknya diperbolehkan masuk.
Sementara itu, badan pengungsi PBB (UNHCR) dan Organisasi Internasional untuk Imigran (IOM) telah bergabung dengan semakin banyaknya kelompok advokasi yang mengecam tindakan-tindakan AS.
"Kebutuhan pengungsi dan migran di seluruh dunia tidak pernah sebesar ini dan program pemukiman AS merupakan salah satu yang terpenting di dunia," ujar pernyataan gabungan dari dua lembaga tersebut, sambil menyerukan agar para pejabat AS mempertimbangkan kebijakan baru tersebut. [hd]