Harapan dan Kecemasan Selimuti Myanmar Menjelang Pemilu

  • Steve Herman

Pemimpin oposisi Myanmar Aung San Suu Kyi dalam sebuah konferensi pers di rumahnya di Yangon, Myanmar, 5 November 2015. (Foto: Z. Aung/VOA )

Sementara Myanmar berkemas menyelenggarakan pemilihan umum pertama dalam seperempat abad, harapan bercampur cemas menyelubungi suasana di Yangon, kota terbesar di negara itu.

Yu Yu Khine seorang karyawan kantor mengatakan, "Saya khawatir. Tetapi berharap kami menjalani pemilihan ini dengan lancar tanpa kerusuhan. Saya ingin melihat pemilihan yang bebas dan adil."

Ia kemudian mengatakan, menurutnya akan terjadi sedikit kecurangan dalam pemungutan suara sebab militer yang memilih anggota Dewan Pemilihan. Namun tidak akan begitu parah, ucap supir taksi Mg Mg Than.

Dengan meningkatnya unjuk kekuatan oleh berbagai organisasi ultra nasionalis di negara yang mayoritas pemeluk Budha itu, maka amat digusarkan terjadi kerusuhan termasuk di kawasan tempat Muslim memberikan surat suara mereka, kata Phil Robertson dari Human Rights Watch Asia kepada VOA.

Pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi dan partainya meraih kemenangan meyakinkan dalam pemilihan tahun 1990-an namun kemudian dicegah oleh para jenderal yang berkuasa waktu itu untuk memegang tampuk pemerintahan. Liga Nasional Bagi Demokrasi diperkirakan bakal merebut hasil baik dalam pemilihan kali ini dari saingannya Partai Uni Solidaritas Dan Pembangunan (USDP) yang mendapat dukungan kuat dari militer.

Undang-undang yang disusun di bawah pemerintahan militer yang lalu menegaskan bahwa presiden tidak boleh mempunyai suami atau anak yang berkewarganegaraan asing. Pasal yang tercantum dalam UU tahun 2008 ini ditulis dan diarahkan pada Aung San Suu Kyi karena suaminya warganegara Inggris. Terlepas dari larangan hukum itu, Suu Kyi bersumpah akan memimpin pemerintahan jika partainya Liga Nasional Bagi Demokrasi (NLD) memenangkan pemilihan.

Dalam jumpa pers di Yangon hari Kamis (5/11) ia berkata "Saya sudah katakan jika kita menang dan NLD membentuk pemerintahan, saya akan di atas presiden. Itulah pesan sangat sederhana." Ia menggambarkan proses pemilihan penuh dengan kejanggalan dan sudah mempertanyakan kredibilitasnya.

Menurut Phil Robertson bahkan sebelum pemilihan diadakan proses itu pada dasarnya sudah cacat dalam beberapa hal yang pokok. Ia menyebut penyimpangan dalam Komisi Pemilihan, tidak ada proses banding yang independen, dan favoritisme dalam media pemerintah. Media ini menurutnya terlalu memihak Partai Uni Solidaritas dan Pembangunan dan hampir tidak ada menyebut nama partai lain.

Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine maupun juga etnis Cina dan India yang sudah hidup di Myanmar dari generasi ke generasi termasuk di antara yang terpinggirkan. Komisi Pemilihan juga mengatakan pemungutan suara tidak diadakan di banyak kota kecil dan desa di negara bagian Shan karena situasi di sana tidak kondusif untuk pemilihan yang bebas dan adil akibat konflik bersenjata yang terus terjadi antara pasukan pemerintah dan pemberontak etnis. [al]