Meski sebagian besar fokus pandemi terdapat pada kelompok lanjut usia yang berisiko tinggi terinfeksi Covid-19, dunia para Generasi Z – mereka yang lahir antara akhir 90-an hingga awal 2010 – juga terguncang tahun 2020. Di awal tahun baru ini, mereka khawatir kehidupan pascapandemi Covid-19 nanti akan lebih buruk dari pendahulu mereka, generasi Millenials, ketika berjuang menghadapi resesi setelah krisis keuangan dunia tahun 2008-2009 lalu.
Solene Tissot (19), mahasiswi asal Perancis yang tinggal sendirian di sebuah apartemen studio di kota Paris, didiagnosis menderita depresi dan gangguan kecemasan oleh psikolog. Selama pandemi, ia tidak bisa terbang menemui kekasihnya yang tinggal di luar Perancis, terputus dari teman-temannya, dan merasakan ketidakpastian akan masa depannya.
“Saya rasa pandemi menjadi faktor penentu kesehatan mental saya, karena saya mengalami depresi, dan menurut saya rasa kesepian yang jadi pemicunya. Karena seperti kita tahu sebagai manusia kita sangat perlu melihat orang lain, bersosialisasi, dan saya rasa karantina wilayah memicu banyak penderitaan orang-orang,” ujarnya.
BACA JUGA: Perayaan Tahun Baru di Seluruh Dunia Berlangsung dengan Pembatasan Sosial KetatSementara itu, Abdullah Ahmed El-Berry (22), jurnalis olahraga magang di Kairo, Mesir, memulai tahun 2020 dengan jadwal fisioterapi setelah lututnya terluka. Ketika pandemi menerjang, ia tidak bisa melanjutkan fisioterapinya karena rumah sakit dipenuhi pasien (Covid-19). Ia juga tidak bisa menghadiri upacara wisuda yang dinantikannya. Beragam acara olahraga pun ditunda. Ia merasa pesimistis dengan tahun 2021.
“Dengan kondisi sekarang, tahun 2021 akan lebih buruk tentunya, terutama bagi orang seperti saya, lulusan baru, atau mereka yang baru menyelesaikan wajib militer. Kami sudah kesulitan mencari kerja. Kesempatan mendapatkan pekerjaan sebelumnya 40-50 persen, sekarang akan turun jadi 25-30 persen,” kata Abdullah.
BACA JUGA: Perayaan Malam Tahun Baru, Ada Pesta, Ada yang MenyendiriDi Amerika Serikat, Valeria Murguia (21) tengah menyelesaikan tahun pertamanya di California State University, Fresno, mempelajari Ilmu Komunikasi dan bekerja paruh waktu di pusat kesehatan kampus ketika pandemi terjadi. Tiba-tiba, seluruh kelasnya dilakukan secara daring dan penghasilannya yang pas-pasan pun menguap.
“Seperti banyak orang, pandemi ini memengaruhi saya dalam banyak hal. Saya kehilangan pekerjaan saya bulan Maret dan sampai sekarang belum dipekerjakan kembali. Syukurnya saya belum kehilangan siapapun akibat pandemi, tapi ibu saya rentan. Ia memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah. Jadi saya dan keluarga hidup dalam rasa takut ia akan jatuh sakit dan kami tidak tahu bagaimana ia akan menghadapinya.”
Atlet anggar Afrika Selatan, Nomvula Mbatha (23), yang sempat akan mewakili negaranya di ajang Olimpiade, berharap tahun 2021 dirinya bisa kembali bertanding setelah semua pertandingan ditunda di sisa tahun 2020 ketika pandemi melanda. “Tujuan jangka pendek saya untuk 2021 yaitu bertanding di kompetisi kualifikasi Zonal. Ketika saya memenangkannya, saya akan bertanding di Olimpiade Tokyo 2021.”
Your browser doesn’t support HTML5
Harapan juga diungkapkan gadis 17 tahun asal Korea Selatan, Lee Ga-Hyeon. Setelah tahun penuh tantangan, ia berharap bisa segera kembali menyaksikan idolanya secara langsung, bukan secara virtual.
“Saya harap bisa menikmati konser BTS di dunia tanpa masker dan saya bisa mengerjakan ujian masuk universitas saya dengan baik dan diterima di kampus yang saya idamkan.”
Namun bagi pengajar tari asal China, Xiong Feng (22), pandemi seharusnya mengajarkan orang-orang untuk bisa bersatu.
“Saya rasa dunia seharusnya lebih damai dan penuh kasih, dan orang-orang perlu berhenti saling bertengkar. Karena kini orang-orang mencoba menyelesaikan masalah yang sama, jadi saya rasa mereka seharusnya duduk, berdialog dan menemukan solusi yang saling menguntungkan bagi semuanya.” [rd/jm]