Paus Fransiskus hari Minggu (6/11) menyampaikan doa bagi “mereka yang menderita di Timur Tengah,” di akhir lawatannya ke Bahrain untuk mempromosikan dialog dengan Islam, tetapi ditandai dengan tuduhan pelanggaran HAM di negara Teluk itu.
Dalam pidato terakhir sebelum naik pesawat menuju Roma, Paus juga menyerukan para jemaat untuk berdoa “bagi Ukraina yang sangat menderita,” dan untuk mengakhiri perang.
Ia mengatakan kepada jemaat di Lebanon bahwa ia juga berdoa untuk “negara Anda yang tercinta, yang sangat lelah dan berusaha kerja keras, serta untuk semua orang yang menderita di Timur Tengah.”
Paus asal Argentina yang berusia 85 tahun itu menggunakan kunjungan empat hari ke Bahrain, yang berpenduduk mayoritas Islam, untuk bertemu dengan pejabat-pejabat senior Muslim dan warga Katholik di Teluk. Negara itu juga memiliki komunitas buruh migran yang besar.
Paus Sabtu lalu (5/11) melangsungkan misa terbuka bagi sekitar 30.000 orang, yang sebagian tak kuasa meneteskan air mata dalam kesempatan itu.
Bahrain, yang menjalin hubungan formal dengan Tahta Suci Vatikan pada tahun 2000, memiliki sekitar 80.000 penduduk Katholik. Sebagian besar adalah pekerja asal Filipina dan negara-negara Asia lainnya.
Pada hari Minggu, pagi terakhir kunjungan kepausan pertama ke negara pulau itu, Fransiskus mengunjungi Gereja Hati Kudus di Manama dan mengajak umat Katholik untuk menjadi “promotor dialog yang tak kenal lelah” dengan agama lain.
“Mari kita berusaha menjadi penjaga dan pembangun persatuan, dalam masyarakat multi agama dan multi budaya di mana pun kita berada,” ujarnya di gereja tertua di Teluk yang dibuka pada tahun 1939 itu.
BACA JUGA: Syiah Bahrain Berharap Paus Angkat Isu HAM Selama KunjunganPernyataan itu disampaikannya sehari setelah polisi menahan sebentar kerabat seorang narapidana Bahrain yang sedang menunggu hukuman mati, yang melakukan protes dan meminta untuk bertemu dengan Paus; demikian menurut sebuah kelompok HAM yang berkantor di London. Pihak berwenang membantah terjadinya “penahanan.”
Kelompok-kelompok HAM telah sejak lama memaparkanya terjadinya diskriminasi, represi dan pelecehan oleh penguasa di Bahrain terhadap tokoh dan aktivis oposisi Syiah.
Human Rights Watch menuduh pengadilan Bahrain menjatuhkan hukuman mati berdasarkan “putusan yang sangat tidak adil.”
Dalam pidato pertamanya Kamis lalu (3/11), Paus berbicara tentang “hak untuk hidup” dan “urgensi untuk terus menjamin hak itu, termasuk bagi mereka yang dihukum, yang nyawanya tidak boleh diambil.”
Menteri Keuangan Sheikh Salman bin Khalifa Al Khalifa mengatakan kepada AFP bahwa Bahrain memiliki “perlindungan HAM dan peradilan pidana yang kuat dan luas,” dan bahwa pernyataan Paus tentang hukuman mati itu tidak merujuk pada Bahrain.
Ini merupakan perjalanan kedua Paus ke sebuah negara Teluk setelah kunjungan ke Uni Emirat Arab tahun 2019.
Di Bahrain, Paus Fransiskus bertemu dengan imam besar Masjid Al Azhar Sheikh Ahmed Al Tayeb. Ia juga menggunakan lawatannya untuk memperingatkan bahwa dunia berada di “jurang yang curam,” mengutuk terbentuknya “blok yang saling berlawanan” Timur dan Barat, referensi terselubung terhadap kebuntuan upaya mencari solusi atas invasi Rusia ke Ukraina. [em/jm]