Hilangnya Bangunan Cagar Budaya Rumah Radio Bung Tomo

  • Petrus Riski

قوای امنیتی چین در کاشغر، مرکز ولایت شین ژیانگ آن کشور که خاستگاه شورشگری مسلمانان اویغور می‌باشد، همواره مراقب اوضاع امنیتی است

Sebuah Rumah Radio Bung Tomo di jalan Mawar 10 Surabaya rata dengan tanah. Padahal tempat itu merupakan salah satu tempat bersejarah di Kota Surabaya, sebagai corong yang menyerukan semangat perjuangan warga Surabaya melawan penjajahan bangsa kolonial.

Pagar seng bercat hijau itu kini dipasangi garis kuning bertuliskan "Dilarang Melintas Garis Pol PP," dan di bagian pintu masuk ditempeli stiker bertuliskan "Pelanggaran Perda nomor 5 tahun 2005 tentang Pelestarian Bangunan dan Lingkungan Cagar Budaya". Saat mengintip ke dalam dari celah pagar seng, tidak terlihat bangungan apa pun berdiri di lahan seluas sekitar 2.000 meter persegi. Beberapa gundukan material bekas pembongkaran seperti batu bata dan kayu tampak dibiarkan teronggok di bagian tengah dan pinggir lahan.

Itulah gambaran hilangnya bangunan cagar budaya Rumah Radio Bung Tomo, yang terletak di jalan Mawar nomor 10 Surabaya, yang telah telah rata dengan tanah sejak 3 Mei yang lalu. Jamilah salah seorang warga yang berjualan di seberang depan bangunan mengaku mengetahui, kalau rumah itu adalah cagar budaya. Namun dirinya tidak mengetahui sejak kapan bangunan bersejarah itu dirobohkan.

"Sudah tahu kalau itu cagar budaya, katanya dibeli Jayanata untuk dibangun rumah, tidak tahu dibongkarnya mulai kapan," kata Jamilah.

PT. Jayanata yang bergerak di bidang klinik kesehatan dan kecantikan, membeli lahan dan bangunan itu untuk dibangun rumah baru untuk salah seorang pemiliknya. Seperti yang dituturkan Lilik Wahyuni, Store Manajer Plaza Jayanata.

"Nah kalau sejak kapan dibeli saya kurang tahu, Mawar 10 dibeli pihak Jayanata, untuk apa, untuk rumah anaknya, sudah itu yang saya tahu," kata Lilik.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya, Wiwiek Widayati mengatakan, bangunan yang ada di jalan Mawar 10 merupakan Bangunan Cagar Budaya, melalui SK Walikota Surabaya pada tahun 1996.

"Jadi ketika kita tetapkan bangunan sebagai bangunan BCB (bangunan cagar budaya), Pemerintah Kota juga pada saat itu sudah melakukan upaya pengawasan, artinya bahwa rumah-rumah ini pada waktu itu juga kita pasangi plakat, di situ jelas kok bahwa persil Mawar nomor 10 adalah Bangunan Cagar Budaya," ujarnya.

Kepala Seksi Perlindungan, Pengembangan dan Pemanfaatan Cagar Budaya, Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur, Widodo memastikan bahwa bangunan yang telah dirobohkan itu adalah Bangunan Cagar Budaya yang memiliki nilai sejarah. Ini sesuai hasil kajian bangunan yang telah dilakukan, bahwa susunan batu bata, pondasi dan ubin yang dipakai memiliki kesamaan seperti bangunan pada jaman penjajahan Belanda.

Widodo mengatakan, "Tinjauan kami yang dilakukan oleh taman-teman dari BPCB (Trowulan) itu memang terdapat 2 jenis bata, yang pertama adalah bata baru, dan yang kedua adalah bata lama. Bata baru itu terdapat di bagian depan, artinya bahwa kemungkinan di bagian depan sedikit itu sudah mengalami renovasi, kalau yang bagian belakang memang masih bangunan lama terbukti dengan komposisi perekat bata dan jenis batu batanya memang batu lama."

Pembongkaran bangunan cagar budaya Rumah Radio Bung Tomo disesalkan anggota Tim Cagar Budaya Kota Surabaya, Suhardi. Dia mengaku tidak mengeluarkan rekomendasi pembongkaran bangunan cagar budaya itu, karena pembongkaran atau renovasi bangunan cagar budaya tidak sesuai dengan Perda maupun Undang-undang mengenai cagar budaya.

"Setiap orang yang akan membongkar sebagian, apakah ada yang baru atau lama, atau melakukan demolisi terhadap bangunan dan atau lingkungan cagar budaya harus memiliki izin membongkar, harus ke kita (Tim Cagar Budaya). Dia sudah ke kita, kita bilang ya dikembalikan dulu, ya jangan dibongkar, karena ini peraturan jangan dibongkar, kita belum kasi izin bongkar kok," kata Suhardi.

Hancurnya bangunan cagar budaya Kota Surabaya disesalkan Vinsensius Awey, Anggota Komisi C bidang Pembangunan, DPRD Kota Surabaya. Awey menilai peristiwa ini sebagai bentuk kelalaian dari Pemerintah Kota, serta pelanggaran hukum bagi pelaku pembongkaran.

"Menjadikan sebagai bahan introspeksi kepada pemerintah untuk melalui sebuah proses yang baik ketika memutuskan bangunan cagar budaya, dan juga bagi siapa pun yang melakukan perubahan-perubahan dengan tidak mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku, sesuai Perda nomor 5 tahun 2005, maupun UU nomor 11 tahun 2010 tentang Pelestarian Bangunan dan Lingkungan Cagar Budaya, maka siapa pun orangnya itu harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya yang telah merusak atau mengubah dengan sadar, dengan sengaja, sehingga bangunan itu kemudian menjadi tidak ada, nah ini bagaimana pun harus proses hukum berjalan," kata Awey.

Wiwiek Widayati menegaskan akan memanggil pemilik persil di jalan Mawar 10, untuk dimintai pertanggungan jawab hilangnya bangunan cagar budaya Kota Surabaya. Selanjutnya rencana rekonstruksi dan pengembalian bentuk bangunan seperti semula, akan dilakukan setelah ada kajian secara komprehensif.

"Pertama kita harus memanggil para pemilik, karena ini sedang melakukan pengumpulan bahan ya, bukti-bukti, setelah itu nanti kami akan melakukukan sesegera mungkin rekonstruksi," tambah Wiwiek.

Kepala Bagian Humas Pemerintah Kota Surabaya, Mohammad Fikser, mengajak masyarakat ikut terlibat aktif dalam mengawasi dan menjaga kelestarian bangunan cagar budaya, agar tidak ada lagi bangunan cagar budaya yang dirusak atau dialihfungsikan tanpa diketahui oleh pemerintah.

Mohammad mengatakan, "Memang jadi tanggungjawab Pemerintah Kota, tetapi kalau itu semua diserahkan ke Pemerintah Kota dengan keterbatasan personil, ini memang klasik tapi ini realistis, artinya dengan jumlah yang terbatas kita perlu dukungan, partisipasi dari warga masyarakat untuk mengawasi cagar budaya ini." [pr/em]