Peneliti dari Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof Lili Romli mensyaratkan adanya lebih dua calon dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) agar Indonesia terhindar dari jebakan polarisasi untuk kedua kalinya.
“Oleh karena itu, saya berharap memang jangan sampai kandidat pilpres itu hanya dua. Meski naga-naganya akan begitu kan, kecenderungan untuk dua pasang calon saja. Kalau dua pasang calon saja, sudah pasti dengan sendirinya polarisasi akan terjadi,” ujar Lili.
Dia menyampaikan hal tersebut dalam diskusi Outlook 2023: Demokrasi Indonesia dan Tantangannya ke Depan, yang diselenggarakan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Kamis (19/1).
Meski elite politik seolah bersuara menentang benturan antarkelompok pemilih, yang pada Pemilu 2019 melahirkan istilah Cebong dan Kadrun, tetapi faktanya politik identitas tetap dimanfaatkan para elite itu sendiri. Lili mengingatkan, saat ini ujaran kebencian di media sosial sudah sama maraknya dengan era Pilpres 2019.
Dia berharap, gambaran koalisi yang samar-samar terbentuk saat ini bisa melahirkan hingga empat calon pasangan dalam Pilpres 2024.
“Syukur-syukur PDIP punya calon sendri, Koalisi Indonesia Bersatu tetap bertahan di bawah komando Golkar dan punya calon sendiri. Koalisi Gerindra dengan PKB punya calon sendiri, dan koalisi Nasdem, PKS, dan Demokrat punya calon sendiri. Ada empat,” tegasnya.
Lili juga mendorong, calon pemimpin hadir tanpa mengandalkan pencitraan tetapi mengedepankan pertarungan visi dan gagasan. Dari nama-nama kandidat yang muncul saat ini, dia menilai belum ada yang mengarah ke format ideal itu.
Politik Uang Mendominasi
Guru Besar Ekonomi Politik, Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Dr. Didin S. Damanhuri juga memberikan sejumlah catatan terhadap praktik demokrasi di Tanah Air, selain soal polarisasi. Wakil Ketua Dewan Pakar ICMI Pusat ini menyebut praktik jual-beli suara dan politik transaksional yang melekat dalam demokrasi Indonesia menjadi bentuk demokrasi primitif.
“Di mana parpol dan demokrasi menjadi wahana untuk mencari keuntungan finansial, baik di tingkat elite yang menimba dan korupsi politik besar-besaran, maupun di tingkat massa. Karena serangan subuh dan sebagainya, menciptakan kesadaran tentang jual-beli suara di kalangan rakyat,” paparnya.
BACA JUGA: "Nomere Piro Wanine Piro": Politik Uang tetap Hantui Pemilu IndonesiaSeolah tidak mau kalah, lembaga-lembaga survei politik di Indonesia juga terjebak menjadi tim sukses para kandidat. Pembajakan demokrasi dan praktik oligarki politik dan ekonomi juga dominan. Sehingga demokrasi seolah hanya prosedural saja, dan meninggalkan substansinya.
Didin juga menyatakan, “Media sekarang makin lemah untuk mengontrol pemerintahan, sementara media sosial menjadi wahana pembodohan sosial. Buzzer adalah bagian dari penciptaan gejala otoritarianisme itu, yang bisa mematikan kritik dari masyarakat.”
Di parlemen, kontrol pun semakin lemah karena dalam periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi, 85 persen kekuatan politik di DPR berada di sisi pemerintah.
“Awal mula terjadinya gejala otoritarian, koalisi gemuk ini,” ujarnya.
Perlu Reformasi Kepartaian
Koalisi gemuk di parlemen, yang membuka ruang otoritarianisme, tidak lepas dari posisi partai yang tidak mandiri. Menjadi bagian dari pemerintah, diakui atau tidak, adalah sumber pendanaan bagi partai. Partai seolah tanpa ideologi, dan bisa bersatu dengan partai lain bahkan yang pandangannya berseberangan secara politik.
Karena itulah, guru besar Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Prof Valina Singka Subekti, merekomendasikan adanya penguatan partai politik untuk memperbaiki iklim demokrasi Indonesia ke depan.
“Saya melihat perlunya kita memperkuat parpol dari segi ideologi, rekrutmen dan kaderisasi serta kemandirian politiknya, sehingga dapat mendorong tumbuhnya oposisi yang lebih efektif di parlemen,” ujarnya.
BACA JUGA: Survei Voxpol: Mayoritas Publik Tidak Setuju Capres Harus Orang Jawa“Ini menjadi pekerjaan rumah kita bersama, reformasi kepartaian ini, karena masih belum substantif, masih formalistik,” tambahnya memberi alasan.
Reformasi kepartaian penting, kata Valina, karena kader mereka di parlemen sejatinya adalah pembentuk pemerintahan. Partai politiklah yang awalnya memilih calon presiden dan calon wakil presiden, calon gubernur, calon bupati atau wali kota dan pejabat publik lain.
Your browser doesn’t support HTML5
“Bahkan untuk pengisian jabatan-jabatan publik di lembaga independen, itu juga melalui fit and proper test di DPR,” tegasnya.
Beberapa Tawaran Solusi
Untuk memperbaiki situasi politik ke depan, Valina memandang pentingnya membangun kedewasaan berdemokrasi para elite dan mengedukasi masyarakat melalui literasi politik etis, politik yang berkeadaban, dan demokrasi. Hal yang sama pentingnya untuk dilakukan adalah menegakkan prinsip-prinsip konstitusionalisme dalam kehidupan bernegara. Peran masyarakat sipil juga semestinya dominan untuk mengawal dan menjaga pelaksanaan tahapan-tahapan Pemilu.
Prof Lili Romli juga mengharapkan kelompok civil society betul-betul memegang komitmen sebagai agen demokrasi. Namun, Lili juga menggarisbawahi pentingnya komitmen dari pemerintah dan elite politik untuk bersama-sama menegakkan demokrasi. Yang ketiga, kata Lili, ada harapan bahwa dukungan terhadap demokrasi tetap tinggi di masyarakat.
Lili juga mengaku heran dengan adanya upaya untuk mengembalikan sistem perpolitikan Indonesia ke era Orde Baru, meski reformasi baru bergulir dua dekade.
“Kenapa kita kemudian lupa terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu? Jangan sampai perilaku kita, sikap kita, pikiran kita, set back, ingin mengembalikan seperti suasana di masa Orde Baru,” tegas Lili.
Harapan ke Anak Muda
Sementara menurut Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Fajar Nursahid, harapan sebenarnya masih ada di kelompok muda.
“Kita masih melihat generasi Y dan Z, mereka adalah orang-orang yang sebenarnya masih punya idelisme,” kata Fajar.
“Mereka mau terlibat dalam proyek-proyek masyarakat sipil, mereka masih bisa diajarkan untuk enggak terima uang, mereka masih bisa diajarkan untuk membangun idealisme misalnya, kalau mereka mau masuk ke partai politik,” tambahnya.
BACA JUGA: Apakah Kisah Cebong dan Kampret Berlanjut di 2024?Pendapat dosen Universitas Bakrie ini juga dikuatkan oleh hasil sejumlah survei, di mana generasi muda masih bisa diharapkan memperbaiki kondisi politik Indonesia. Kuncinya adalah ketika mereka tertarik masuk ke politik praktis, misalnya di partai, harus disiapkan lingkungan yang kondusif untuk menjaga idealisme itu.
“Lagi-lagi, pintu masuknya adalah partai poltikk, jadi betul-betul saya mengharapkan ke depan, partai politik akan menjadi pilar demokrasi yang lebih baik, dengan memberi kesempatan yang besar kepada anak muda untuk terlibat,” kata Fajar. [ns/ah]