Human Rights Watch hari Rabu (19/8) menyampaikan kritikan tajam terhadap UU anti terorisme baru Mesir, dengan mengatakan bahwa UU itu memiliki definisi yang terlalu luas mengenai apa yang dimaksud tindakan teroris sehingga memungkinkan warga Mesir terkena hukuman keras atas sesuatu yang selama ini mungkin hanya dianggap sebagai pembangkangan sipil.
Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sissi menandantangani UU itu hari Minggu, kurang dari dua bulan setelah berjanji untuk memperkokoh kebijakan anti-teror menyusul pemboman di Kairo yang menewaskan seorang jaksa tinggi Mesir.
Di antara pasal-pasal yang tercantum dalam UU itu adalah maksimal hukuman mati bagi mereka yang membentuk atau memimpin kelompok teror, hukuman penjara seumur hidup bagi mereka yang mendanai terorisme, dan hukuman penjara bagi mereka yang memprovokasi atau berusaha memprovokasi serangan.
Wakil Direktur Human Rights Watch untuk Timur Tengah dan Afrika Utara Nadim Houry mengatakan, dengan UU baru ini, presiden Mesir mengambil langkah besar yang akan menjadikan hukum keadaan darurat sebagai UU negara.
Houry menambahkan, pemerintah Mesir telah melengkapi diri dengan kekuasaan yang lebih besar untuk menumpas para pengeritik dan oponen dalam perang melawan terorisme yang tidak jelas.
Mesir menghadapi serangan sporadis di Kairo dan kekerasan yang lebih sering di Semenanjung Sinai di mana militan Islamis kerap menarget polisi dan tentara. Serangan seperti itu lebih sering terjadi setelah Sissi memimpin penggulingan Presiden Islamis Mohamed Morsi pada 2013.
Houry mengatakan, sementara Mesir menghadapi pemberontakan serius, pemerintah seharusnya tidak mengebiri hak-hak dasar, menindas pembangkangan dan menggunakan label terorisme sebagai cara untuk menyerang saingan.