Para peneliti HAM mengatakan mereka telah mendokumentasikan “banyak kasus” di mana pasukan Ukraina menembakkan ranjau antipersonel terlarang ke posisi-posisi militer Rusia dalam pertempuran sengit untuk merebut kota Izium, Ukraina Timur, tahun lalu.
Laporan itu, yang dirilis pada Selasa (31/1) oleh Human Rights Watch dan memuat beberapa laporan rinci para peneliti, menimbulkan pertanyaan mengenai kredibilitas dan niat Kyiv sementara sekutu-sekutu NATO mencurahkan miliaran dolar berupa bantuan dan senjata untuk Ukraina, sewaktu invasi Rusia mendekati masa satu tahun.
“Mereka mungkin menghadapi beberapa pertanyaan sangat sulit dari orang-orang yang telah memasok mereka dengan senjata jenis-jenis lainnya terkait kemampuan mereka menggunakannya secara konsisten dengan hukum humaniter internasional,” kata Steve Goose, Direktur Divisi Senjata Human Rights Watch, kepada VOA menjelang laporan itu dirilis. Kantor organisasi pemantau HAM itu mendorong pelucutan senjata humaniter. Organisasi itu menyerukan investigasi di Ukraina.
Antara April dan September, warga mengatakan kepada peneliti, roket-roket yang diluncurkan dari wilayah yang dikuasai Ukraina menyebarkan ribuan “ranjau kupu-kupu” PFM-1 era Soviet di atas fasilitas-fasilitas militer Rusia di Izium, yang dimasuki pasukan Rusia pada bulan April. Serangan balasan Ukraina dimulai pada bulan September, dan kemenangan cepat mereka atas pusat kereta api yang secara strategis penting itu dianggap oleh beberapa analis militer sebagai titik balik dalam konflik tersebut.
Para peneliti di kota di wilayah Donbas Ukraina itu berbicara kepada para petugas layanan kesehatan dan menghitung ada 11 kematian warga sipil akibat ranjau, dan 50 lainnya terluka. Setengah dari kasus itu mencakup amputasi kaki atau kaki bagian bawah – cedera umum yang disebabkan oleh ranjau antipersonel. Sedikitnya lima yang terluka adalah anak-anak.
Kementerian Luar Negeri Rusia sebelumnya menuduh Ukraina menggunakan ranjau rancangan Soviet, yang dilarang pada tahun 1997 berdasarkan Perjanjian Pelarangan Ranjau, juga dikenal sebagai Pakta Ottawa, yang ditandatangani di ibu kota Kanada. Ukraina juga menuduh Rusia menggunakan munisi terlarang. Pada banyak kesempatan, Human Rights Watch menuduh Rusia menggunakan jenis lain ranjau antipersonel di Ukraina serta berbagai kekejaman lain, termasuk penculikan dan penyiksaan, selama mereka menduduki Izium.
BACA JUGA: Ukraina: Rusia Serang Kyiv dengan DroneKampanye Internasional untuk Melarang Ranjau Darat mengatakan kepada VOA bahwa langkah berikutnya jelas, begitu pula implikasinya.
“Para Pihak Negara dalam perjanjian (Larangan Ranjau) itu harus mendesak otoritas Ukraina untuk segera melakukan investigasi guna menetapkan siapa yang sengaja menggunakan atau memerintahkan penggunaan senjata ini karena mereka dapat dituntut secara pidana,” kata perwakilan kelompok advokasi global ini kepada VOA dalam pernyataan tertulis, mewakili organisasi itu. “Ranjau darat merupakan senjata yang tak pandang bulu, yang tidak dapat membedakan pihak sipil dan militer, penggunaannya dapat dianggap sebagai kejahatan perang.”
Ukraina mewarisi lebih dari 6 juta ranjau darat semacam itu setelah bubarnya Uni Soviet pada tahun 1991. Pada tahun 2021, Ukraina melaporkan kepada PBB bahwa pihaknya memiliki 3,3 juta ranjau dalam persediaan, menunggu untuk dihancurkan. [uh/ab]