Arwin Soelaksono, koordinator Sub Klaster Shelter Sulawesi Tengah, Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah atau Internasional Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC) mengatakan banyak pembelajaran penting yang dipetik dari proses pembangunan ribuan hunian sementara (huntara) selama setahun terakhir bagi penyintas bencana alam di Palu, Sigi dan Donggala.
Kata Arwin, pembangunan huntara sebagai proses dibuat dengan berorientasi pada kebutuhan dan keinginan warga terdampak bencana khususnya bagi kelompok rentan seperti orang tua, perempuan dan anak-anak.
BACA JUGA: Bambu, Material Alternatif Pembangunan Huntara Penyintas Bencana SultengCaranya, lanjut Arwin, lembaga-lembaga yang mendukung pemulihan masyarakat menanyakan kepada penyintas tentang bangunan yang mereka inginkan. Misalnya, material bangunan apa yang akan dipilih dan apakah ada alternative barang yang bisa dipakai untuk mengurangi biaya, papar Soelaksono.
“Nah, ini yang namanya proses. Akhirnya masyarakat dibangun kemandiriannya, mereka bisa membangun menyelesaikan huntaranya,” Arwin menjelaskan usai pelaksanaan Refleksi Satu Tahun Padagimo (Palu, Donggala, Sigi dan Parigi Moutong) Bangkit bertempat di Gedung Pogombo, Kantor Gubernur Sulawesi Tengah (2/10).
Dikatakannya dalam setahun ini Tim Pendukung Sub-klaster bersama dengan pemerintah dan lembaga-lembaga mitra lembaga swadaya masyarakat (LSM) telah membangun sinergi yang semakin kuat bersama sekitar 80 LSM Lembaga Kemanusiaan.
LSM-LSM tersebut telah mendampingi 31 ribu keluarga pada masa darurat dan membantu masa pemulihan serta pembangunan huntara untuk 19.648 keluarga. Dari jumlah itu, 34 persen merupakan huntara individual sedangkan sisanya adalah huntara yang bersifat komunal.
BACA JUGA: Perempuan Penyintas Bencana di Sulteng Maksimalkan Lahan SekitarPembangunan huntara individual di antaranya dengan mempertimbangkan aspek jumlah anggota keluarga, bahan bangunan, serta lokasi yang diinginkan untuk mendirikan huntara. Disebutkan bahwa berdasarkan observasi, huntara yang dibangun dengan pendekatan individual shelter memiliki tingkat okupansi dan kepuasan lebih tinggi dibandingkan dengan yang komunal.
“Kalau misalnya terjadi bencana seringkali kita berpikir ’oh, kita langsung bangun saja huntara.’ Huntara yang panjang. Kita sebut komunal. Tapi ternyata lewat beberapa temuan dan sudah dilaporkan ada banyak keluhan,” kata Arwin.
Your browser doesn’t support HTML5
Beberapa keluhan huntara komunal antara lain, tentang keamanan, terutama untuk perempuan dan anak-anak, dan pelecehan, papar Arwin.
Ia berpendapat model pendekatan individual shelter untuk pemulihan secara mandiri, bermartabat dan lebih aman dari bencana, sangat baik untuk diterapkan dalam tahapan transisi dari huntara ke hunian tetap. Pemerintah dan lembaga-lembaga kemanusiaan dapat berperan dengan memfasilitasi kapasitas masyarakat untuk membangun secara lebih aman.
Enos Marajani (48), seorang penyintas bencana dari desa Sungku, Kecamatan Kulawi, mengungkapkan model individual shelter memungkin ia membangun hunian sementara dalam bentuk rumah panggung sesuai dengan kondisi tempat tinggalnya yang dekat dengan perkebunan, yang juga terdapat hewan-hewan melata berbahaya, seperti ular dan lipan.
Huntara yang dibuatnya berukuran luas empat kali enam meter persegi yang sudah cukup nyaman untuk istri dan ketiga anaknya serta dilengkapi dengan sarana sanitasi untuk mandi, cuci, kakus.
“Kelebihannya kami bisa seleksi ramuan kayu. Terus material pasir kami harus sesuaikan dengan keadaan sebelum dan sesudah gempa. Kami berpikir itu bukan cuma huntara, tapi itu sudah hunian tetap, dan kenyamanan anak kami supaya merasa betah di rumah,” kata Enos Marajani yang rumahnya rusak berat dalam bencana gempa bumi 28 September 2018 silam.
BACA JUGA: Hari Anak Nasional: Mimpi Hunian Tetap Anak-anak Penyintas Bencana Alam SultengPembangunan Huntara yang berpihak pada anak
Yayasan Sayangi Tunas Cilik mengungkapkan dalam pembangunan ratusan unit huntara di Kota Palu, kabupaten Sigi dan kabupaten Donggala, pihaknya berupaya agar anak-anak bisa tinggal di huntara yang aman dan nyaman bersama orang tua mereka.
Geminingsih Nastiti, shelter dan infrastucture manager, pada yayasan mitra dari organisasi Save the Children menjelaskan bencana alam di Sulawesi Tengah menyebabkan banyak perempuan yang harus menjadi orang tua tunggal untuk anak-anaknya. Namun ada juga anak-anak yang hidup sendiri setelah kehilangan kedua orang tua mereka. [yl/jm]