Ruang kelas enam Sekolah Dasar Transisi Balaroa di Palu Barat, Kota Palu, Sulawesi Tengah pada Senin siang itu (22/7) riuh oleh suara dari 23 siswa-siswi yang saling berbincang sembari mencatat mata pelajaran yang sedang diajarkan hari itu.
Sekolah Dasar Transisi Balaroa merupakan sekolah semi permanen yang didirikan tidak jauh dari lokasi kamp pengungsian, tempat di mana anak-anak itu tinggal di dalam tenda bersama keluarga mereka sejak gempa bumi yang meluluhlantakan wilayah itu pada 28 September 2018 silam.
Kepada VOA, anak-anak itu menceritakan tinggal di tenda pengungsian dengan segala kekurangan cukup berat bagi mereka. Di sisi lain, mereka tidak punya pilihan lain karena tempat tinggal mereka rusak atau hilang akibat likuifaksi, seperti penuturan Rafli Setiawan (12).
“Biasa di tenda kepanasan, listrik juga mati-mati. Air juga jarang keluar, baru kalau malam-malam kedinginan, banyak angin” kata Rafli Setiawan yang tinggal di tenda bersama kedua orang tua dan kedua adiknya yang masing-masing berusia enam dan dua tahun.
Dalam peringatan Hari Anak Nasional yang jatuh pada 23 Juli 2019, anak-anak penyintas bencana di Sulawesi Tengah itu berharap pemerintah dapat membangun hunian yang lebih layak untuk mereka.
Seperti harapan sederhana Mardia Tila, siswi kelas 6 yang ingin hunian layak "agar bisa tidur nyenyak lagi seperti dulu.”
Harapan serupa juga diungkapkan Arif Hidayat yang kini tinggal berdua dengan ayahnya setelah ibunya meninggal dunia dalam bencana alam Likuifaksi pada September 2018.
“Dibikinkan Huntap (Hunian Tetap)” katanya singkat.
Harapan yang sama juga terucap dari Rafli setiawan.
“Mohon bantuannya dengan tempat tinggal untuk kami. Rumahku rusak,” ujar Rafli.
Putri (22), seorang ibu di pengungsian Balaroa, mengeluh anaknya tidak dapat belajar dengan baik karena kondisi tenda yang sempit dan panas. Selain itu, kebutuhan air bersih tidak selalu tersedia.
“Tidak bisa konsentrasi juga karena sempit. Belum orang mau tidur juga, belum juga dorang mau belajar jadi sempit lokasinya di dalam tenda. Siksa anak-anak,” kata Putri.
“Mandinya juga susah. Air tidak ada. Tidak ada bantuan-bantuan air masuk di tenda. Jadi anak-anak siksa semua. Apalagi panas begini,” keluhnya.
Putri mengatakan hingga kini belum mendapatkan Jaminan Hidup atau Jadup yang pernah dijanjikan oleh Pemerintah. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Putri mencari nafkah dengan berjualan di sekitar sekolah. Hasil berjualan digunakan Putri untuk membeli beras dan air minum. Rata-rata dalam sehari ia bisa mendapatkan uang keuntungan Rp 50 ribu.
Ihsan Basir, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Sulawesi Tengah, mengatakan harapan anak-anak penyintas bencana itu adalah hal yang wajar. Menurut Ihsan, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah terus berupaya mengurangi apa yang disebutnya sebagai kegalauan anak-anak yang tinggal di Huntara maupun di tenda-tenda.
“Kami berpikir sama juga. Pemerintah Provinsi beberapa kali mendesak sebenarnya karena hunian tetap ini kan merupakan program nasional dari pusat. Kami sendiri mendesak supaya segera mewujudkan hunian tetap karena terlalu lama, saya pikir tidak manusiawi,” kata Ihsan Basir melalui sambungan telepon seusai mengikuti kegiatan Peringatan Hari Anak Nasional 2019 di Makassar, Sulawesi Selatan.
“Satu tahun itu saya pikir waktu yang terlalu panjang untuk sebuah keluarga tinggal di dalam lokasi rumah yang sementara,” tambahnya.
Peringatan Hari Anak Nasional 2019 dilaksanakan kemarin, Selasa, 23 Juli 2019 di Makassar, Sulawesi Selatan dengan tema Peran Keluarga Dalam Perlindungan Anak. [yl/ft]