Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) melakukan aksi di depan kantor Balai Karantina Ikan dan pengendalian Mutu (KIPM) Surabaya 1, menuntut penegakan hukum terhadap pemilik ikan arapaima gigas, setelah 22 ekor ikan arapaima ditemukan di sungai Brantas karena dilepasliarkan. Ecoton khawatir keberadaan ikan predator itu akan menghabiskan ikan endemik sungai Brantas.
Aksi unjuk rasa aktivis lingkungan dari Ecoton dan sejumlah mahasiswa di kantor Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Surabaya 1 di Juanda, Sidoarjo, Kamis (12/7/2018), mendesak adanya penegakan hukum terhadap pemilik ikan arapaima gigas yang terbukti telah melepasliarkan puluhan ikan arapaima ke sungai Brantas.
Menurut Direktur Eksekutif Ecoton, Prigi Arisandi, keberadaan ikan arapaima yang dilepasliarkan ke sungai Brantas merupakan bentuk pelanggaran hukum, karena ikan itu merupakan salah satu dari 152 jenis ikan yang berbahaya dan dilarang menurut Peraturan Menteri Perikanan dan Kelautan (KKP) nomor 41 Tahun 2014.
Bahkan dalam keterangan kepada media, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti telah mendorong adanya langkah hukum bagi pelaku, sedangkan ikan arapaima dapat dimusnahkan atau dikonsumsi oleh masyarakat yang berhasil menangkapnya.
“Kita itu punya Permen (peraturan menteri) Kementerian Kelautan dan Perikanan, nomor 41 Tahun 2014, ini menyatakan kalau memang ada 152 jenis ikan yang berbahaya. Siapapun orangnya tidak boleh, dilarang masuk ikan ini ke Indonesia. Artinya apa, ini ada pelanggaran hukum. Kemudian yang dilakukan Bu Susi (Menteri KKP) adalah mendorong orang ini dipidanakan, ya jelas ini adalah pidana lingkungan, karena dia ada, memiliki, kemudian dia melepas liarkan ikan di perairan terbuka,” kata Prigi Arisandi, Direktur Eksekutif Ecoton.
Koordinator Nasional Indonesia Water Community of Practice (IndoWater CoP), Riska Darmawanti mengatakan, dilepaskannya ikan arapaima ke sungai Brantas dapat mengancam keberadaan ikan asli atau endemik sungai Brantas, karena sifatnya yang invasif dan predator.
Warga bersama Ecoton sebelumnya telah menemukan dan menangkap 22 ekor ikan arapaima di sungai Brantas, meski pengakuan yang terdapat dalam video yang beredar di media sosial menyebutkan ada 70 ekor ikan arapaima yang dilepasliarkan. Riska mengatakan, dibangunnya suaka ikan di Sungai Brantas akan terancam rusak, bila ikan arapaima belum ditangkap seluruhnya.
“Konsekuensinya apa, ikan asli habis. Nah, dari yang kemarin kita buka isi peru (ikan arapaima) itu kan, dia sudah makan wader, sudah makan keting, sudah makan lele. Nah, itu sudah kelihatan bahwa sebenarnya nafsu makannya sangat besar, " jelas Riska Darmawanti, Koordinator Nasional IndoWater CoP.
"Nah, kalau dibiarkan, bahaya. Jadi ketika dia makan ikan-ikan yang mau bertelur, ya habis. Tidak hanya anakannya, tetapi indukannya juga habis. Nah, itu yang kemudian bikin kolaps, kolaps ekosistemnya di situ. Nah, kalau ikan-ikannya habis dimakan, apa yang tersisa di (sungai) Brantas itu,” lanjutnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Kepala Seksi Tata Pelayanan, Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Surabaya 1, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Djoko Darman Tani mengatakan, pihaknya telah membuka posko penyerahan ikan berbahaya dan invasif, untuk menampung ikan berbahaya dan dilarang yang dimiliki warga. Selain itu, pihaknya memastikan akan memproses pelanggaran ini sesuai aturan dan kewenangan yang dimilikinya.
“Langkah yang diambil, membuat posko untuk menampung, menerima ikan-ikan yang sejenis, yang dilarang untuk beredar, dan dari impor terutama dari amazon ya. Dalam hal ini kita sikapi, dan tetap kita tindaklanjuti. Himbauan ini saya sampaikan, agar masyarakat yang memiliki, kaum pebisnis maupun pemilik (pribadi) agar menyerahkan kepada posko yang sudah ditentukan,” kata Djoko Darman Tani, Kepala Seksi Tata Pelayanan, Balai KIPM Surabaya 1. [pr/lt]