Pemilihan presiden putaran kedua di Mesir menimbulkan kekhawatiran perubahan radikal dalam politik luar negeri, apabila Mohamed Morsi menang.
Kemenangan yang mungkin diraih Morsi, dari kelompok Ikhwanul Muslimin, menimbulkan kekhawatiran, bahwa Mesir akan mengubah politik luar negerinya.
Juru bicara calon presiden dari kelompok Islam itu, Walid el Haddad, mengatakan pemerintahan Morsi akan berusaha tidak melakukan agenda pemerintahan sebelumnya yang terpusat pada Amerika, tetapi akan mempertahankan hubungan yang telah lama ada itu.
“Seperti halnya hubungan kita yang sangat baik dengan Amerika yang merupakan salah satu pemimpin dunia, kita juga harus punya hubungan baik dengan negara-negara Asia. Kita akan punya hubungan baik dengan negara-negara Afrika, seperti juga dengan negara-negara Eropa,” ujarnya.
Kuncinya, kata el-Haddad, adalah keseimbangan. Lima bulan yang bergejolak setelah pemerintahan lama jatuh, perubahan radikal adalah hal yang tidak dibesar-besarkan dalam kampanye Morsi. Bahkan mengenai isu-isu kontroversial seperti Israel, calon dari kelompok Islam itu bertekad untuk mempertahankan perdamaian.
“Kami menghormati semua perjanjian, Ini adalah salah satu rujukan agama Islam: menghormati semua perjanjian. Tetapi, kami juga meminta pihak lainnya menghormati itu,” ujarnya lagi.
Saingan Morsi, Ahmed Shafiq, mantan perdana menteri pemerintahan lama, juga menekankan tetap menjaga hubungan baik dengan semua negara.
Para pengamat politik mengatakan, selama kampanye, tidak seorang pun menyerukan perjanjian itu diingkari, bahkan mereka yang mengecam keras Israel. Said Sadek dari Universitas Amerika di Kairo mengatakan, “Itu bisa dilakukan sebagai isu-isu domestik untuk mencari popularitas seorang calon presiden yang lemah. Namun kata-kata saja tidak berarti apapun.”
Sadek mengatakan kebutuhan Mesir untuk mempertahankan hubungan dengan negara-negara sahabat nampak ketika Saudi Arabia menarik duta besarnya setelah terjadi demontrasi terhadap kedutaan besarnya di Kairo.
“Apa yang telah mereka lakukan? Parlemen Mesir yang dikuasai kelompok Islam mengirim delegasi besar, mengatakan ‘ayo kembali. Kami tidak menginginkan masalah.’ Saya yakin, mereka tidak ingin ada masalah. Tak seorangpun mau menghadapi masalah besar dalam politik luar negeri,” kata Sadek lagi.
Faktor lain yang pempengaruhi adalah militer Mesir yang kuat, yang terlibat dalam tiga perang dalam satu abad terakhir. Analis politik Hisham Kassem mengatakan, sejak itu, militer berjanji tidak mau menjadi korban ambisi politik.
Juru bicara calon presiden dari kelompok Islam itu, Walid el Haddad, mengatakan pemerintahan Morsi akan berusaha tidak melakukan agenda pemerintahan sebelumnya yang terpusat pada Amerika, tetapi akan mempertahankan hubungan yang telah lama ada itu.
“Seperti halnya hubungan kita yang sangat baik dengan Amerika yang merupakan salah satu pemimpin dunia, kita juga harus punya hubungan baik dengan negara-negara Asia. Kita akan punya hubungan baik dengan negara-negara Afrika, seperti juga dengan negara-negara Eropa,” ujarnya.
Kuncinya, kata el-Haddad, adalah keseimbangan. Lima bulan yang bergejolak setelah pemerintahan lama jatuh, perubahan radikal adalah hal yang tidak dibesar-besarkan dalam kampanye Morsi. Bahkan mengenai isu-isu kontroversial seperti Israel, calon dari kelompok Islam itu bertekad untuk mempertahankan perdamaian.
“Kami menghormati semua perjanjian, Ini adalah salah satu rujukan agama Islam: menghormati semua perjanjian. Tetapi, kami juga meminta pihak lainnya menghormati itu,” ujarnya lagi.
Saingan Morsi, Ahmed Shafiq, mantan perdana menteri pemerintahan lama, juga menekankan tetap menjaga hubungan baik dengan semua negara.
Para pengamat politik mengatakan, selama kampanye, tidak seorang pun menyerukan perjanjian itu diingkari, bahkan mereka yang mengecam keras Israel. Said Sadek dari Universitas Amerika di Kairo mengatakan, “Itu bisa dilakukan sebagai isu-isu domestik untuk mencari popularitas seorang calon presiden yang lemah. Namun kata-kata saja tidak berarti apapun.”
Sadek mengatakan kebutuhan Mesir untuk mempertahankan hubungan dengan negara-negara sahabat nampak ketika Saudi Arabia menarik duta besarnya setelah terjadi demontrasi terhadap kedutaan besarnya di Kairo.
“Apa yang telah mereka lakukan? Parlemen Mesir yang dikuasai kelompok Islam mengirim delegasi besar, mengatakan ‘ayo kembali. Kami tidak menginginkan masalah.’ Saya yakin, mereka tidak ingin ada masalah. Tak seorangpun mau menghadapi masalah besar dalam politik luar negeri,” kata Sadek lagi.
Faktor lain yang pempengaruhi adalah militer Mesir yang kuat, yang terlibat dalam tiga perang dalam satu abad terakhir. Analis politik Hisham Kassem mengatakan, sejak itu, militer berjanji tidak mau menjadi korban ambisi politik.