Sekretaris Umum IKOHI Zaenal Muttaqin mengecam keputusan Presiden Joko Widodo yang mengangkat dua anggota eks tim mawar, yakni Brigjen TNI Yulius Selvanus dan Brigjen TNI Dadang Hendrayudha, menjadi pejabat publik di lingkungan Kementerian Pertahanan. Pengangkatan ini melalui Keputusan Presiden Nomor (Keppres) Nomor 166 Tahun 2020.
Menurut Zaenal, hal ini merupakan bentuk penghinaan dan pelecehan terhadap korban dan keluarga korban yang mendukung Jokowi dalam dua pemilihan presiden lalu.
"Ini seperti luka yang kemudian disiram air cuka. Ini sungguh kami sesalkan dan kecam keras keputusan presiden Jokowi," jelas Zaenal Muttaqin dalam diskusi daring, Minggu (27/9).
Zaenal menambahkan keputusan presiden ini berlawanan dengan tuntutan rehabilitasi dari para korban dan keluarga korban yang tidak pernah dipenuhi pemerintah. Ia berpandangan orang yang terlibat dalam pelanggaran HAM semestinya tidak diangkat menjadi pejabat publik yang dapat menentukan kebijakan bangsa.
BACA JUGA: IKOHI dan Gusdurian Ingatkan Pemerintah Tuntaskan Kasus Orang Hilang"Bagaimana kita diatur oleh para pelanggar HAM, bagaimana para penculik yang jelas-jelas diputuskan di Mahkamah Militer dan mendapat sanksi, ada yang dipecat. Kemudian bisa mengatur di bidang pertahanan negara," tambah Zaenal.
Sementara, Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyanti mengatakan lembaganya akan membuat surat terbuka untuk Presiden Joko Widodo.
KontraS menilai kebijakan ini tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Utamanya Pasal 5 yang mengharuskan berlandaskan pada asas perlindungan terhadap HAM dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
"Kita melihat negara masih abai dengan isu-isu HAM, khususnya pelanggaran HAM berat masa lalu dan penghilangan paksa," jelas Fatia.
Fatia menilai pengangkatan eks tim mawar ini juga akan mempersulit proses penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu maupun proses pembaruan hukum yang berkaitan dengan isu penghilangan paksa.
Your browser doesn’t support HTML5
KontraS juga mendesak presiden menindaklanjuti empat rekomendasi DPR tentang kasus penghilangan paksa pada 1998. Keempatnya adalah pembentukan pengadilan HAM ad hoc, pencarian 13 aktivis yang masih hilang, merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban, serta ratifikasi konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai dukungan penghentian praktik penghilangan paksa.
Makin Kabur
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengatakan keputusan Presiden Jokowi mengangkat kedua orang yang memiliki rekam jejak buruk ini mengecewakan. Kata dia, kebijakan ini juga membuat agenda penuntasan kasus pelanggaran HAM berat semakin berat.
"Pak Jokowi harus lebih banyak berhitung bagaimana menyelesaikan kasus-kasus yang ada. Dimana kasus ini tidak ada yang baru dan semua bergantung kepada komitmen Pak Jokowi dan pemerintahannya," jelas Beka Ulung kepada VOA, Senin (28/9/2020).
Kendati demikian, Beka menjelaskan lembaganya belum akan mempertanyakan kebijakan ini kepada presiden. Menurutnya, Komnas HAM baru akan mengambil sikap resmi jika nantinya penuntasan kasus pelanggaran HAM berat semakin rumit.
Menurut hasil penyelidikan Pro Justicia Komnas HAM yang dikeluarkan pada 2006, kasus penghilangan paksa 1997-1998 dilakukan oleh Tim Mawar. Tim ini merupakan tim yang dibentuk di bawah Grup IV Komando Pasukan Khusus (Kopassus) berdasar perintah langsung dan tertulis dari Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus Mayjen TNI Prabowo Subianto.
Kini, dua mantan anggota tim mawar yakni Brigjen TNI Yulius Selvanus dan Brigjen TNI Dadang Hendrayudha yang kala itu berpangkat kapten dan terlibat dalam penghilangan paksa terhadap aktivis diangkat menjadi publik di Kemhan.
Mahkamah Militer Tinggi II Jakarta pada 6 April 1999 menghukum Yulius Selvanus 20 bulan penjara dan dipecat dari dinas ABRI. Sedangkan Dadang Hendrayudha dihukum 16 bulan penjara tanpa pemecatan. Namun, dalam Putusan tingkat banding pada 24 Oktober 2000, pemecatan terhadap Yulius Selvanus dianulir oleh hakim. Sehingga keduanya, masih menjabat aktif sebagai anggota militer.
BACA JUGA: Yang Muda Melawan Lupa Penculikan Aktivis 1998VOA sudah berusaha menghubungi sejumlah pejabat di Kementerian Pertahanan dan juru bicara presiden Fadjroel Rahman terkait kritik dari masyarakat soal ini. Namun, hingga berita ini diturunkan belum ada tanggapan dari mereka.
Sedangkan jika melihat Keppres 166 Tahun 2020, pengangkatan kedua mantan anggota tim mawar ini merupakan usulan dari Menteri Pertahanan Prabowo Subianto melalui surat 28 Juli dan 7 September 2020. Usulan ini telah dibahas dan mendapat persetujuan Tim Penilai Akhir Pengangkatan dan Pemberhentian Jabatan Pimpinan Tinggi Utama pada 18 September 2020. [sm/ft]