Pertemuan Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad dan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman dengan keluarga korban penghilangan paksa aktivis 1997-1998 di Hotel Fairmont, Jakarta, pada tanggal 1-3 Agustus lalu; dan dugaan adanya pemberian uang senilai satu miliar rupiah sebagai “tanda tali kasih” menuai kecaman keras.
Sekretaris Umum Badan Pekerja Ikatan Keluar Orang Hilang (IKOHI) Zaenal Muttaqien menyayangkan pertemuan yang disebutnya sebagai “politik transaksional” untuk membungkam keluarga korban agar tidak melanjutkan gugatan hukum dalam kasus penghilangan paksa para aktivis tahun 1997-1998 yang menyeret nama presiden terpilih Prabowo Subianto.
Pertemuan Diinisiasi oleh Korban Penculikan Yang Selamat dan Kini Jadi Staf Ahli KSP
Pertemuan yang menuai kecaman keras itu diinisiasi oleh Mugiyanto Sipin, salah seorang korban penculikan 1998 yang selamat dan kini menjabat sebagai tenaga ahli di Deputi V Kantor Staf Kepresidenan (KSP).
Pihaknya menerima bukti pertemuan tersebut dari Fajar Merah, anak Wiji Tukul, salah seorang aktivis yang hingga kini belum tidak diketahui nasibnya. Dari foto-foto pertemuan, nampak para korban penculikan seperti Mugiyanto Sipin dan Aan Rusdiyanto beserta keluarga korban aktivis yang hilang seperti Utomo D Raharjo dan Paian Siahaan.
“Pertama kali yang membuka pertemuan gelap tersebut adalah Fajar Merah anak dari Wiji Tukul yang mempertanyakan motif apa yang dilakukan oleh Mugiyanto dengan mengundang para keluarga korban. Fajar pula yang membuka bahwa dia akan diberikan bagian dari uang Rp1 miliar dari saudaranya diundang secara diam-diam juga oleh Mugiyanto,” ungkap Zaenal dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (15/8).
Fajar tidak mau menerima uang tersebut dan meminta untuk dikembalikan. Namun, saudaranya justru tidak mau mengembalikan uang itu.
Sang inisiator, yakni Mugiyanto, katanya sempat berpesan kepada seluruh keluarga penerima agar pertemuan dan pemberian uang tersebut jangan sampai bocor ke publik.
“Bagi IKOHI cara-cara seperti itu tidak etis dan tidak lebih dari sekedar upaya picik yang memanipulasi kerentanan ekonomi, dan kelelahan fisik keluarga korban dalam mencari keadilan yang tidak kunjung ditegakkan oleh otoritas negara,” jelas Zaenal.
BACA JUGA: IKOHI Luncurkan Film Korban Penghilangan Paksa 1998, Berharap Generasi Muda Tidak LupaPraktik “Politik Transaksional” Bukan Hal Baru
Berdasarkan catatan yang yang dimiliki IKOHI, praktik “politik transaksional” pernah terjadi dalam kasus Tanjung Priok dan kasus Talangsari di Lampung, di mana para inisiator pertemuan memanfaatkan kerentanan ekonomi dan kelelahan keluarga korban pelanggaran HAM berat, dengan merangkul sebagian korban untuk mengajak korban-korban lainnya agar mau berdamai. Caranya adalah dengan memberikan mahar, berupa uang dan janji dukungan ekonomi dan usaha.
Adik aktivis Wiji Tukul, Wahyu Susilo, melalui pernyataan tertulis yang dibacakan dalam konferensi pers kali ini menyatakan pertemuan tersebut sama sekali tidak mewakili keseluruhan keluarga korban orang hilang.
“Menurut Wahyu Susilo, yang merupakan adik kandung Wiji Tukul yang diculik dan hilang hingga kini, pertemuan itu tidak mewakili seluruh keluarga korban orang hilang yang sampai saat ini konsisten menuntut pertanggungjawaban negara. Menurut Wahyu, pertemuan itu tidak mewakili kami, keluarga aktivis yang hilang, dan sampai detik ini konsisten menuntut negara termasuk meminta adanya pertanggung jawaban Prabowo dalam kasus penghilangan paksa tersebut,” tambahnya.
IKOHI: Proses Hukum Akan Jalan Terus
Anggota Dewan Penasehat IKOHI Wilson mengungkapkan, meskipun pertemuan itu terjadi dan adanya pemberian uang “tali kasih” kepada keluarga korban, bukan berarti tuntutan proses hukum atas dugaan keterlibatan presiden terpilih Prabowo Subianto dalam kasus penghilangan paksa aktivis 97/98 berhenti begitu saja.
“Dengan pertemuan yang menghasilkan uang tali asih Rp1 miliar dari pimpinan Partai Gerindra kepada keluarga korban, bukan berarti kasus hukum dan pertanggungjawaban Prabowo berhenti,” tegas Wilson.
Berdasarkan Pasal 26 UU No. 20 Tahun 2000, pelanggaran HAM berat tidak mengenal kedaluarsa. Menurutnya Wilson, Sufmi Dasco Ahmad berharap dengan pemberian uang tersebut kasus akan selesai, namun tidak demikian.
“Jadi walaupun para korban menyatakan sudah menerima tali asih dari petinggi partai Gerindra, dan kemungkinan tidak mau lagi menuntut Prabowo, tanggung jawabnya di depan pengadilan, tapi menurut hukum yang berlaku di negeri ini, UU 20 tahun 2000 bahwa kejahatan HAM berat tidak mengenal kadaluarsa. Jadi, keluarga korban, gerakan HAM, atau masyarakat sipil tetap bisa menuntut tanggung jawab Prabowo untuk kejahatan HAM yang dilakukan untuk kasus penghilangan paksa para aktivis 97-98,” jelasnya.
Amnesty International Indonesia: Tidak Ada Kejahatan terhadap Kemanusiaan yang Bisa Dihapus Begitu Saja
Dalam kesempatan yang sama, anggota Dewan Penasehat IKOHI sekaligus Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid menegaskan dalam aturan di pengadilan HAM yang merujuk pada hukum-hukum internasional, kejahatan terhadap kemanusiaan tidak bisa diputihkan begitu saja; bahkan oleh doktrin-doktrin hukum yang biasanya bisa digunakan untuk memutihkan suatu kejahatan. Misalnya penculikan yang dikategorikan sebagai kejahatan biasa, yang pelakunya tidak lagi bisa dituntut ketika kasus sudah berjalan lebih dari 12 tahun.
“Tapi, penghilangan paksa bukan kejahatan biasa, karena itu ketika ia ditetapkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan maka tidak bisa diputihkan karena daluwarsa. Tidak bisa diputihkan karena orangnya merasa pernah ada pengadilan dahulu yang divonis sudah ada dan saya pernah divonis, saya sudah dibebaskan, atau saya tidak termasuk dalam tuntutan saat itu. karena itu saya tidak merasa mau atau patuh untuk diadili. Atau alasan lain, saya ketika itu hanya melaksanakan perintah presiden, atau saya mengatakan bahwa misalnya masanya sudah lewat, sudah 27 tahun. Alasan-alasan itu ditolak oleh hukum-hukum internasional,” kata Usman.
Pertemuan di Hotel Fairmont tidak dapat menghilangkan kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1997-1998 begitu saja, tambahnya.
“Tidak bisa dijadikan alasan untuk memutihkan kewajiban negara untuk tetap menuntut pelakunya ke pengadilan, menghukum mereka, untuk tetap mencari dan menyediakan fakta-fakta kebenaran tentang nasib mereka yang hilang, keberadaan mereka yang hilang, kewajiban untuk memulihkan keseluruhan hak mereka, dan kewajiban untuk menciptakan jaminan bahwa ke depan tidak akan terjadi lagi. Misalnya dengan ratifikasi konvensi PBB untuk perlindungan semua orang dari penghilangan paksa,” pungkasnya. [gi/em]