Namun masih ada perbedaan pendapat mengenai apakah kerusakan di Filipina akibat topan Haiyan merupakan bukti terbaru mengenai dampak pemanasan global.
LONDON —
Seiring datangnya badai tropis di Filipina hanya beberapa hari setelah Topan Haiyan merusak beberapa wilayah, komisioner perubahan iklim negara itu telah mendesak komunitas global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Namun terkait isu ini, ilmuwan iklim dan pembuat keputusan memiliki pendapat yang berbeda-beda mengenai apakah kerusakan di Filipina merupakan bukti terbaru dari pemanasan global.
Para ilmuwan mengatakan Topan Haiyan merupakan salah satu dari badai terkuat yang pernah mencapai daratan. Beberapa ahli mengatakan perubahan iklim akibat ulah manusia adalah penyebabnya.
Bob Ward, ilmuwan dari Lembaga Riset Grantham untuk Perubahan Iklim di London School of Economics, mengatakan ada bukti situasional yang kuat karena kita tahu bahwa kekuatan siklon tropis, badai dan topan sangat bergantung pada suhu-suhu permukaan laut.
“Suhu-suhu permukaan laut ini bertindak sebagai pendorong. Dan saat ini suhu di Pasifik cukup panas, yang telah meningkat karena perubahan iklim," ujar Ward.
Ia menambahkan bahwa intensitas badai-badai sepertinya meningkat.
“Model-model yang kami miliki tidak begitu jelas saat ini, namun kami memperkirakan di masa yang akan datang ada lebih sedikit (badai). Namun yang akan terjadi akan jauh lebih kuat daripada yang kita alami sekarang," ujarnya.
Kerusakan yang luas dari infrastruktur menyebabkan pihak berwenang dan lembaga bantuan kesulitan mendistribusikan air dan makanan.
Benedict Dempsey dari lembaga Save the Children mengatakan prakiraan cuaca yang akurat membuat beberapa petugas pemberi bantuan ada di tempat saat badai melanda.
"Sekitar enam orang ada di jalur badai untuk menyiapkan respon di Tacloban dan daerah lainnya di Filipina," ujar Dempsey.
Dempsey mengatakan lembaga-lembaga bantuan harus beradaptasi dengan lebih banyak bencana alam seperti ini.
“Antara 2002 dan 2011, rata-rata lebih dari 260 juta orang per tahun terimbas bencana. Kami melihat realita dari tren-tren ini di lapangan, dan kita harus bersiap untuk memberi respon di masa yang akan datang," ujarnya.
Yayasan Global Warming Policy, yang skeptis dengan perubahan iklim akibat ulah manusia, mengatakan seharusnya fokus yang ada diarahkan pada kesiagaan bencana daripada mengurangi gas-gas rumah kaca.
“Ini adalah badai tropis ke-20 yang menimpa Filipina tahun ini. Jadi hal ini akan terus terjadi apapun keputusan kita mengenai CO2. Badai-badai ini akan terus berlanjut," ujar direktur yayasan Benny Peiser.
Pada pembahasan-pembahasan perubahan iklim di Polandia baru-baru ini, wakil Filipina dengan berapi-api mendesakkan persetujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Ilmuwan Bob Ward mengatakan para delegasi seharusnya memberi perhatian.
"Faktanya adalah jika kita masih berselisih dan menunda pembuatan kesepakatan, kita akan melihat lebih banyak lagi peristiwa seperti ini dengan korban manusia yang besar," ujarnya.
Namun para pengamat perbincangan di Warsawa mengatakan perjanjian-perjanjian untuk mengurangi emisi sepertinya masih panjang jalannya.
Namun terkait isu ini, ilmuwan iklim dan pembuat keputusan memiliki pendapat yang berbeda-beda mengenai apakah kerusakan di Filipina merupakan bukti terbaru dari pemanasan global.
Para ilmuwan mengatakan Topan Haiyan merupakan salah satu dari badai terkuat yang pernah mencapai daratan. Beberapa ahli mengatakan perubahan iklim akibat ulah manusia adalah penyebabnya.
Bob Ward, ilmuwan dari Lembaga Riset Grantham untuk Perubahan Iklim di London School of Economics, mengatakan ada bukti situasional yang kuat karena kita tahu bahwa kekuatan siklon tropis, badai dan topan sangat bergantung pada suhu-suhu permukaan laut.
“Suhu-suhu permukaan laut ini bertindak sebagai pendorong. Dan saat ini suhu di Pasifik cukup panas, yang telah meningkat karena perubahan iklim," ujar Ward.
Ia menambahkan bahwa intensitas badai-badai sepertinya meningkat.
“Model-model yang kami miliki tidak begitu jelas saat ini, namun kami memperkirakan di masa yang akan datang ada lebih sedikit (badai). Namun yang akan terjadi akan jauh lebih kuat daripada yang kita alami sekarang," ujarnya.
Kerusakan yang luas dari infrastruktur menyebabkan pihak berwenang dan lembaga bantuan kesulitan mendistribusikan air dan makanan.
Benedict Dempsey dari lembaga Save the Children mengatakan prakiraan cuaca yang akurat membuat beberapa petugas pemberi bantuan ada di tempat saat badai melanda.
"Sekitar enam orang ada di jalur badai untuk menyiapkan respon di Tacloban dan daerah lainnya di Filipina," ujar Dempsey.
Dempsey mengatakan lembaga-lembaga bantuan harus beradaptasi dengan lebih banyak bencana alam seperti ini.
“Antara 2002 dan 2011, rata-rata lebih dari 260 juta orang per tahun terimbas bencana. Kami melihat realita dari tren-tren ini di lapangan, dan kita harus bersiap untuk memberi respon di masa yang akan datang," ujarnya.
Yayasan Global Warming Policy, yang skeptis dengan perubahan iklim akibat ulah manusia, mengatakan seharusnya fokus yang ada diarahkan pada kesiagaan bencana daripada mengurangi gas-gas rumah kaca.
“Ini adalah badai tropis ke-20 yang menimpa Filipina tahun ini. Jadi hal ini akan terus terjadi apapun keputusan kita mengenai CO2. Badai-badai ini akan terus berlanjut," ujar direktur yayasan Benny Peiser.
Pada pembahasan-pembahasan perubahan iklim di Polandia baru-baru ini, wakil Filipina dengan berapi-api mendesakkan persetujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Ilmuwan Bob Ward mengatakan para delegasi seharusnya memberi perhatian.
"Faktanya adalah jika kita masih berselisih dan menunda pembuatan kesepakatan, kita akan melihat lebih banyak lagi peristiwa seperti ini dengan korban manusia yang besar," ujarnya.
Namun para pengamat perbincangan di Warsawa mengatakan perjanjian-perjanjian untuk mengurangi emisi sepertinya masih panjang jalannya.