Para peneliti berhasil mengembangkan sebuah perangkat lunak untuk mengidentifikasi hewan yang masih maupun sudah tidak ada.
Para ilmuwan menghadapi kesulitan dalam mengidentifikasi hewan karena ribuan spesies mati tiap tahun. Mereka ingin tahu bagaimana perubahan iklim dan kerusakan habitat mempengaruhi spesies seperti katak Plains Coqui dari hutan Puerto Rico yang terancam punah.
Tapi bagaimana para ilmuwan dapat mengetahui apakah mereka mati jika peneliti tidak tahu jumlah katak yang ada? Untuk itulah diciptakan Automated Remote Biodiversity Monitoring Network (ARBIMON), sebuah sistem generik yang memantau keanekaragaman hayati.
Mitchell Aide dari University of Puerto Rico memimpin tim ARBIMON ini. Tim ini mengembangkan teknologi baru yang dapat membantu aktivis pelestari keanekaragaman hayati untuk melakukan pemantauan di seluruh dunia.
Perangkat lunak itu bisa dipergunakan untuk spesies apa saja, seperti misalnya udang bengkok, atau paus, atau bisa juga katak, serangga atau kera.
Peneliti meletakkan sebuah perangkat rekaman, biasanya sebuah iPod, di hutan tropis, di mana mereka merekam suara selama 10 menit setiap jamnya. Rekaman dikirim secara “real time” ke komputer pusat.
Ilmuwan memrogram komputer untuk mengenali suara hewan yang berbeda dalam rekaman itu. Perangkat lunak ini dapat menganalisa puluhan ribu rekaman dalam waktu kurang dari satu jam, dan memberitahu peneliti tentang jenis hewan yang ada dan tidak ada di hutan tropis itu, kapan bersuara, serta hewan apa yang suaranya absen.
Tim tersebut kini memiliki stasiun rekaman di Hawaii, Arizona, Kosta Rika, Brazil dan berbagai lokasi lainnya. Setelah berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun, Mitchel Aide mengatakan para ilmuwan berhasil membangun lanskap suara dikawasan itu serta mengidentifikasi hewan-hewan penghuninya.
Perangkat lunak ARBIMON dan arsip suaranya tersedia gratis bagi semua orang, ilmuwan dan maupun orang lain, di situs www.arbimon.com. (VOA/Megan McGrath)
Tapi bagaimana para ilmuwan dapat mengetahui apakah mereka mati jika peneliti tidak tahu jumlah katak yang ada? Untuk itulah diciptakan Automated Remote Biodiversity Monitoring Network (ARBIMON), sebuah sistem generik yang memantau keanekaragaman hayati.
Mitchell Aide dari University of Puerto Rico memimpin tim ARBIMON ini. Tim ini mengembangkan teknologi baru yang dapat membantu aktivis pelestari keanekaragaman hayati untuk melakukan pemantauan di seluruh dunia.
Perangkat lunak itu bisa dipergunakan untuk spesies apa saja, seperti misalnya udang bengkok, atau paus, atau bisa juga katak, serangga atau kera.
Peneliti meletakkan sebuah perangkat rekaman, biasanya sebuah iPod, di hutan tropis, di mana mereka merekam suara selama 10 menit setiap jamnya. Rekaman dikirim secara “real time” ke komputer pusat.
Ilmuwan memrogram komputer untuk mengenali suara hewan yang berbeda dalam rekaman itu. Perangkat lunak ini dapat menganalisa puluhan ribu rekaman dalam waktu kurang dari satu jam, dan memberitahu peneliti tentang jenis hewan yang ada dan tidak ada di hutan tropis itu, kapan bersuara, serta hewan apa yang suaranya absen.
Tim tersebut kini memiliki stasiun rekaman di Hawaii, Arizona, Kosta Rika, Brazil dan berbagai lokasi lainnya. Setelah berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun, Mitchel Aide mengatakan para ilmuwan berhasil membangun lanskap suara dikawasan itu serta mengidentifikasi hewan-hewan penghuninya.
Perangkat lunak ARBIMON dan arsip suaranya tersedia gratis bagi semua orang, ilmuwan dan maupun orang lain, di situs www.arbimon.com. (VOA/Megan McGrath)